Minggu, 19 April 2009

Cinta Buat Adit

“Katakanlah bahwa kau tak menyukai dia, Ravik!” teriakku ketus.
Ravik menatapku.Sejuta keresahan kulihat tersirat di matanya. Aku ingin menangis melihat semuanya ini. Kalau saja, ya aku tidak menyenangi cowok itu, mungkin tak akan begini jadinya.
Aku memandang Ravik sekilas lalu berpindah ke luar jendela. Ada getir kasihan melihat
Ravik menatapku sendu. Ada airmata yang terbendung di pelupuk mataku. Tapi aku tak
berani menumpahkan di hadapannya. Kesulitan-kesulitan itu begitu menghimpitku. Aku perlu marah pada Ravik yang salah tapi karena aku tidak tahu, apa yang mesti ku perbuat.
“Maafkan aku, Vik. Aku, ah, aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan,” gumamku tanpa memandang mata Ravik. Hening, tak ada sahutan. Yang kudengar hanya isak tangis.
Milik siapa? Mungkin Ravik yang menangis atau justru aku?
Mendung kian tebal di batas langit. Angin dingin laju memacu embun. Titik-titik air
mulai turun satu per satu. Menjamah tanah hitam yang selamanya kering termakan panas.
“Aku menyayangi dia, Pima. Aku tak bisa membohongi hatiku sendiri,” kata Ravik lirih
di balik bahuku. Ada sembilu menyayat hatiku. Pengakuan yang sama sekali tak kuinginkan. Ah… Ravik mengapa kita harus dilahirkan sama? Aku menggeleng,
menanggapi pertanyaanku sendiri. Kututup jendela kamar. Kutemukan kehangatan itu tak bisa mengusir keheninganku, kekakuanku atau pun kekecewaanku.
Kulangkahkan kakiku satu-satu meninggalkan tempat dimana aku berdiri tadi. Ravik kulihat mengikuti langkahkudengan ekor matanya. Ketika handel pintu akan kuputar,
Ravik berlari dan menghalangiku dengan tubuhnya. Kedua tangannya terlentang di antara daun pintu yang satu dengan daun pintu yang lain. Matanya lebam, wajahnya pucat dan
bibirnya biru.
“Katakanlah, mengapa engkau begitu bersemangat menghalangiku untuk menyayangi
dia, Pima?” Tanya Ravik datar.
Aku membuang muka. Kusibakkan tubuh Ravik yang menghalangi langkahku. Cepat-
cepat kuputar hendel pintu. Aku siap keluar ketika tangan Ravik mencengkeram lenganku.
“Kita dilahirkan sama, Pima. Jasmani kita, perasaan kita, hati kita, semua sama suka
keterbukaan. Aku telah membuktikannya di hadapanmu. Tapi kau, Pima, mana?” teriak Ravik. Matanya menantang mataku tajam.
Tuhan, saat seperti ini rasanya kami bukanlah dua saudara kembar. Tapi kami adalah musuh. Saling perang, saling menjatuhkan. Dan kalau memang demikian keadaannya, aku tentu yang dikatakan kalah. Tapi aku tak mau menyerah sekarang, mungkin besok atau besoknya lagi. Kutepiskan cengkraman Ravik.
Dengan langkah panjang-panjang, kutinggalkan kamar Ravik, saudara kembarku sekaligus musuhku.
Aku tidak tahu apa yang dilakukan Ravik setelah itu. Mungkin Ravik tertegun melihatku atau mengatakan aku pengecut. Ah, biarin. Aku tak mau mendengar lagi apa yang akan diperbuatnya.


ooOoo

Aku terbangun ketika pintu ruang depan diketuk 3 kali berturut-turut. Kunyalakan lampu meja 20 watt. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam tepat. Hujan masih terdengar turun satu-satu.

Dengan malas kulangkahkan kakiku menuju pintu. Lampu ruang tamu masih menyala terang. Buku-buku ku pun masih tersebar diatas meja. Aku tadi tertidur barangkali. Kusingkapkan tirai jendela. Sesosok tubuh sedang menunggu dengan tangan mendekap dada. Malam memang sangat dingin.
“Kau pulang malam sekali, Ravik?” gumamku ketika pintu telah kubuka. Kucari seseorang yang mungkin mengantar Ravik pulang. Tapi tak ada.
“Dengan siapa?” lanjutku sambil melangkah ke meja. Ravik diam. Yang kudengar
hanya kunci diputar dua kali. Kulihat Ravik menatapku, tapi aku pura-pura sibuk dengan
buku-bukuku. Tak ingin Ravik melihat kecemasanku. Dan aku juga tak ingin Ravik menemukan sesuatu lewat sinar mataku.
“Adit,” Jawab Ravik lemah sambil berlalu.
Aku masih merasa sakit, ketika satu kata itu keluar dari mulut Ravik. Aku semakin
menunduk. Tetesan bening di mataku tak mungkin kusembunyikan lagi. Adit. Ah, mengapa ia hanya diciptakan satu? Aku mengeluh diam-diam. Kurapikan buku-bukuku ketika sehelai kertas terbang dari tumpukan buku-buku yang tadi abis aku pelajari.
Kuraih kertas itu dari lantai yang dingin. Jajaran tulisan kecil-kecil yang rapi tertera
diatasnya. Tulisan Adit buatku beberapa tahun lalu ketika usiaku tepat 17 tahun:

September,
Mendung mengais bulan
Dan hitam mengulas langit Tapi saat seperti ini, masih Aku bisa goreskan
Cintaku buat kamu

Ah ini dulu, beberapa tahun lalu. Sekarang mungkin hanya tinggal angan yang membatu. Biarlah. Biarlah semua berlalu. Toh masih ada jalan panjang bagiku untuk melangkah. Lalu ada sesal pelan-pelan menyusup di rongga dadaku. Kenapa aku harus menghalangi cinta Ravik? Ya, bukankah suatu kebahagiaan kalau aku rela memberikan Adit demi kebahagiaan saudara kembarku?
Kuhisap udara malam pelan-pelan. Rongga dadku menjadi ringan. Seringan kapas yang terbang tanpa himpitan. Bebas. Kutengok jam dinding di sudut ruangan. Sebelas
lebih tujuhbelas menit. Aku harus tidur, gumamku. Kulangkahkan kakiku satu-satu. Buku
di meja sudah teratur rapi. Kumatikan lampu. Gelap. Yang terdengar kini hanya suara
jengkrik. Hening dan hening.


ooOoo

Siang tak seramah biasanya. Matahari kali ini kelihatan sangat angkuh. Terik dan panas menerpa kulit. Aku melangkah pelan-pelan tanpa irama. Melewati trotoar kota
yang hiruk pikuk. Kadang-kadang harus kuhirup udara yang kotor penuh asap dan debu
jika truk atau kendaraan bermotor melaju cepat, membelah jalanan beraspal yang sebagian
masih berwujud pasir.
“Yuk, Pima!” seru seseorang.
“Eh, yuk,” sahutku ketika kutahu yang lewat barusan Nesa, teman sekelasku yang di bonceng cowoknya. Aku lalu kembali melangkah. Mengukir jejak lewat tapak-tapak sepatuku. Tak teratur dan tanpa irama. Tas yang bertali panjang itu kuputar-putar tanpa

sadar. Sekedar mengisi sepi yang tak biasanya kumiliki sepulang kuliah. Pandanganku terarah lurus ke depan, mencari sesuatu yang menarik dari hiruk pikuk suasana seputar kampus.
Sudah lama aku pulang tanpa Adit. Bukan apa-apa, memang. Hanya aku ingin
memberi kesempatan pada Adit untuk mengantar Ravik tanpa merasa takut aku ketahui. Aku sudah berjanji untuk itu. Untuk tidak mengganggu kebebasan Ravik dan Adit.
“Monggo mbecak, mbak,” tawar seorang tukang becak dengan logat Jawanya yang medok. Aku menggeleng pelan. Tersenyum melihat pak becak langgananku kembali
duduk di becaknya dengan sedikit kecewa.
Matahari masih setia dengan keangkuhannya. Kulirik jam tangan di lenganku. Satu
lebih limabelas menit. Duh, siang sekali desahku tanpa sadar. Daun akasia jatuh berguguran di sepanjang trotoar. Kemudian terbang dan terbang dimainkan angin. Atau remuk terinjak kaki pejalan kaki. Ah…ya, seperti aku. Daun itu seperti aku. Remuk, tak berwujud apa-apa lagi.
Adit. Cowok itu lagi yang tergambar dalam benakku. Adit yang…. Kutepiskan anganku ketika aku ingat bahwa sekarang Adit milik Ravik. Adit sekarang bukanlah Adit yang dulu. Beberapa tahun lalu. Kenangan manis itu masih tertulis di hatiku. Bagaimana pun toh aku tak bisa melupakan masa-masa itu.
Pintu gerbang rumah kubuka pelan-pelan. Di sinilah Adit mengungkapkan isi hatinya.
September, di saat ulang tahunku yang ke-17, beberapa tahun lalu.
“Pimaaa….”
“Emm?”
Adit menghentikan langkahku. Ditatapnya aku lembut. Sekilas. Kemudian
pandangannya tertumbuk pada sepotong bulan yang mengantung di ujung langit.
“Kau pernah melihat bulan, Pima? Tanya Adit tanpa menatapku.
“He-eh,” jawabku.
“Indah ya, Pim?”
“He-eh.”
“Kecil tapi bersinar lembut. Seperti kamu. Kecil tapi cantik.”
Aku tersenyum lucu. Tapi Adit tetap serius tadi. Aku tertegun. Adit tidak sedang bergurau.
“Dit, aku tidak cantik. Lebih cantik Ravik dari aku.”
“Tapi aku menyukaimu.”
Aku menunduk, menatap ujung sepatuku yang kumain-mainkan dengan kerikil.
“Tidak menyesal? Kamu punya tampang, brilliant, baik dan….”
“Sssssttt, jangan keras-keras,” sahut Adit sambil menempelkan jari telunjuknya di bibirku. “Yang penting kau mau kan bila aku menyayangimu?”
“Aku tak tahu.”
“Kenapa? Kau ragu?”
Kutatap Adit. Matanya yang teduh itu menatapku sayu.
“Bukan begitu. Aku percaya kamu. Tapi cinta seusia kita tak akan kokoh. Kita masih
SMA, Dit.’
“Cinta tak mengenal waktu, Pima.”
“Salah satu diantara kita nantinya akan mengingkarinya. Dan cinta itu runtuhlah. Hancur , luluh dan…,”
“Aku tak mungkin seperti itu, Pima. Kau harus percaya itu,” potong Adit tegas.

Di keremangan malam itu, keraguanku masih tertanam di otakku. Toh nyatanya benar, pikirku. Pengkhianatan cinta terjadi juga. Adit. Ia yang melakukannya bersama Ravik. Di tempat ini juga, beberapa hari yang lalu. Begitulah kata Ravik kepadaku.

ooOoo

Rumah tampak sepi. Sinar matahari yang terik itu menerobos rumah lewat celah-celah
genteng. Tak ada apa-apa. Keadaannya sama dengan sebelum kutinggalkan tadi pagi. Rapi dan bersih. Hanya ada sedikit sobekan kertas yang tadi kugunakan mengarsir goresan pensil di atas kertas gambarku.
Hening. Tak ada suara musik, tak ada suara Ravik menyanyi atau berbincang-bincang
dengan Chabby, kucing kesayangannya.
Ravik belum pulang? Tidakkah ia diantar Adit? Ataukah ia berhandai-handai dulu dengan Adit? Tak mungkin. Ravik pasti pamit. Setidak-tidaknya dengan penghuni kost ini.
Kubuka kamar Ravik. Gelap. Jendela kamar masih tertutup rapat. Sesak sekali rasanya.
Ravik benar-benar belum pulang. Uah…. Aku menarik nafas panjang, setelah jendela kubuka lebar-lebar. Sinar matahari menyeruak bebas, memanasi lantai yang dingin.
Meja di sudut ruangan tampak rapi. Tak biasanya Ravik bisa mengatur meja sebersih
ini. Tapi mendadak perasaanku kecut ketika pandanganku jatuh pada sehelai kertas diatas
meja. Surat dari Adit buat Ravik atau surat Ravik yang belum sempat dikirimkan? Surat cinta? Ah ada duri yang menusuk-nusuk rongga dadaku. Perih. Bagaimanapun, toh aku tak bisa tersenyum melihat semua ini. Walaupun aku sudah janji untuk rela melepas cowok ganteng dan imut itu buat Ravik.
Kupungut surat itu dengan gemetar. Pikiranku kacau. Tulisan Ravik buatku, bukan untuk Adit. Tuhan, apa yang telah terjadi?



Pima,
Tentu kau amat terkejut menerima surat ini.
Tapi itulah,Pim. Aku tak mungkin bisa bertemu denganmu siang ini. Aku terburu-buru. Entah mengapa tiba-tiba aku ingin pulang. Kembali ke Purbalingga. Tapi kupikir, aku harus pergi. Kau tahu, Pima? Mengapa harus kulakukan ini semua, padahal liburanku belum usai?
Pim,
Dua tahun sudah aku bergelut dengan kehidupan Purbalingga. Kau sudah bisa bayangkan kehidupan di sana kan? Aku yang manusia, tetaplah manusia. Kepribadian yang telah tertanam dalam diriku selama kau hidup diantara keluarga kita, lama-kelamaan terkikis habis. Aku berubah menjadi manusia yang tak pernah kalian bayangkan sebelumnya.
Pima,
Aku sadar. Ya aku sadar betapa aku bukan lagi kebanggaan kalian. Papa, mama dan kau. Aku bukan Ravik yang dulu.
Pima,
Akhirnya aku pulang ke sini, ke Jogja. Di sini juga aku mengenal cowok tampan, lembut danbaik hati. Ia penuh pengertian, kasih sayang dan perhatian. Adit. Aditya Nugroho. Dia juga yang setia membimbingku untuk mengembalikan kepribadianku yang dulu. Sampai suatu saat, pertengkaran kita terjadi. Kau masih ingat, Pima? Semula, aku mengira kau hanya iri akan keberuntunganku. Tapi nyatanya tidak.
Pima,

Aku tahu, Adit adalah milikmu. Cowok yang amat kau cintai. Tapi kasihmu bagiku, bagi seorang saudara kembar mengalahkan semuanya. Kau relakan Adit demi aku,
Pima, aku sama sekali tak menyangka, kau berbuat begitu. Bulir-bulir airmata membasahi kedua pipiku setelah membaca tulisanmu. Tulisan itu tak sengaja kutemukan di map
karangan-karanganmu. Ya, lalu aku sadar mengapa Adit menolakku.Dan…maafkanlah aku yang berbohong kalau Adit yang menginginkanku. Tidak… Dia hanya menginginkanmu. Sungguh, cintanya tulus hanya untukmu.
Begitulah. Aku menjadi sangat malu. Malu pada diriku, pada kebodohan-kebodohanku.
Betapa rendahnya aku dibanding kalian. Kau dan Adit. Aku tak punya hati emas seperti kalian. Aku yakin, kalian sama-sama mencintai. Cinta kalian sangat tulus di mataku.
Cinta yang belum pernah aku temui.
Pima, kau mau memaafkanku? Kembalilah pada Adit,Pima. Adit yang sekarang sama
dengan Adit yang dulu. Ia masih tetap milikmu. Milik Rizkia Primasiwi, saudara kembarku.
Jangan katakan kejadian ini pada mama dan papa yah. Biarlah hanya kita yang tahu. Aku ingin mereka tetap yakin bahwa Ravik adalah kebanggaan orang tua
setiap saat. Kebanggaan kalian, papa, mama dan kau.
Aku pergi, Pima. Meneruskan studiku sekalian mencari kebaikan untuk mengubah Ravik
menjadi lebih baik.

RAVIK.

Kututup surat bersampul putih bersih itu dengan hati yang biru. Sebiru langit, Ravik, bagaimanapun kau tetap jadi kebanggaanku. Ya, walaupun aku tahu, kau memang pernah jatuh. Jatuh seperti yang tidak kami inginkan. Tapi aku yakin, kau pasti bisa bangkit. Menyusun kembali semua yang telah runtuh.
Kutatap foto berbingkai yang menggantung di dinding. Wajah mama, papa, aku dan
Ravik yang penuh kegembiraan, terpampang di atasnya. Potret itu diambil dua tahun yang
lalu.
Jarum jam melangkah seiring dengan waktu. Melangkah dan terus melangkah.
Kubaringkan tubuhku di tempat tidur. Ada sesuatu yang hilang dari kehidupanku. Tapi ada sesuatu pula yang hadir. Entah apa itu. Kutatap langit-langit kamar. Ada dua sosok manusia yang tergambar di atsnya. Adit dan Ravik. Tak pernah bisa aku bayangkan, mengapa ia hadir dalam kehidupanku. Itulah kehendak tuhan. Hanya kehendak-Nyalah yang terjadi.

Tidak ada komentar: