Minggu, 19 April 2009

Pesona Cleopatra

ADIT betul-betul lelah. Kakinya terasa semakin berat. la tak kuat lagi melangkah. Apalagi, mencapai pintu-pintu yang berdiri kokoh dan menyambutnya dingin. la bahkan tak berani lagi berharap akan ada pintu yang terbuka lebar dan merangkulnya tulus.
Salahkah jika ia ingin berhenti saja dan tak seteguh harapan orang banyak?
Wajah Ayah Ibunya terpatri jelas di benaknya, semangat yang mereka alirkan. Nenek bilang nama Adit yang diberikan Ayah dan Ibu sudah dipatok jauh-jauh hari.
"Bahkan sebelum kau lahir!" Di saat-saat lemah dalam kesendirian-nya, lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu sering tertawa frustrasi. Ayah dan Ibunya sudah lama meninggal, tapi mereka masih menyisakan beban namanya.
Bagaimana ia punya ruang berlemah diri kalau embel-embel lain dari namanya adalah Iman? Aditya Nur Iman, begitu lengkapnya.
Waktu kecil, limpahan kasih dari Ayah dan Ibu membuat Adit nyaris tak merasa minder akan kekurangan fisiknya. Beranjak besar dan melihat kenyataan masalah fisik yang membekapnya, ternyata jauh lebih serius dan bukan sekadar organ yang belum berkembang, ia mulai panik. Tapi, naungan Islam, lingkungan baru kemudian mendekapnya, membuat cowok usia delapan belas tahun itu pasrah.
Tuhan pasti punya skenario besar untuknya. Pasti. Dengan kepercayaan itu, dulu ia menjalani hari-hari sekolahnya. Lelaki bertubuh tegap, dengan hidung mancung, dan mata coklat itu menjalani takdir dengan semangat. ia tampan. Cerdas pula. Kekurangan satu-satunya cuma...
"Le, jangan dipikirkan. Fokuslah pada kelebihanmu. Jangan meratapi kekurangan!"
Ibu yang bijak. Lalu, Ayah yang selalu siap dengan jempol teracung untuknya.
"Anak Ayah paling hebaaat!" Semua orang sepertinya selalu siap menghiburnya. "Optimis, Dit... optimis!"
Riza, temannya satu kampus pun tak kurang memompakan semangat dan berusaha mengalirkan kepercayaan diri setiap dilihatnya Adit termenung menatapi kekurangannya.
"Apa ada muslimah yang mau jadi istriku ya, Ri?" tanyanya gamang.
Dan, Riza dengan tawa khasnya selalu mengalirkan hawa optimis. "Kamu ada-ada aja, Dit!"
"Hey, aku serius!"
Mereka sudah di tahun kelima kuliah. Mendekati wisuda. Teman-teman sekampus sudah banyak yang menikah, bahkan ada yang di tahun-tahun awal kuliah. Wajar kalau lelaki itu mulai cemas.
"Pasti ada, Dit!"
"Dengan kaki begini?" Adit menunjuk sebelah kakinya yang mengecil dan tak imbang. Kaki itu mengharuskannya kemana-mana dengan kruk. Cacat sejak lahir kata Nenek.
"Dit, perempuan menikah denganmu karena iman, karena percaya mereka tak perlu suami dengan dua kaki untuk menuntun mereka ke surga. Perempuan seperti itu pasti ada!"
Tatapan ragu Adit dibalas tepukan di bahu, menenangkan.
"Dit, tenang. Kita punya banyak aktivitas dakwah yang ikhlas! Mereka bukan orang-orang yang fisik oriented!"
Benarkah?

************

Malam itu, Adit berdandan rapi, membuktikan kalimat yang diucapkan Riza dengan sangat optimis.
Sahabatnya yang telah menikah dua bulan lalu, memprakarsai diri untuk mencarikan calon istri untuknya.
"Seperti apa dia itu, Ri?"
Riza tampak berpikir. Beberapa detik berlalu dan ia masih kelihatan berpikir sangat keras.
"Hey...."
Teriakan Adit dijawab dengan tawa meledak Riza. Ah, dia memang teman sejati.
"Orang manis, kulit kuning, pendidikannya D-3. Nggak masalah, kan?"
Adit mengedikkan bahu. la tahu banyak temannya yang mensyaratkan pendidikan harus S-l untuk calon istri. Tapi, hal itu sama sekali tak berlaku untuknya. la bahkan tak punya syarat apa-apa, kecuali bahwa perempuan itu bisa berlapang dada terhadap keadaan fisiknya.
"Dit, jangan melamun! Kita harus cepat-cepat pergi sebelum calon istrimu digaet orang. Oke?"
Dengan kendaraan Riza, mereka akhirnya sampai ke tempat calon istri. Ravik namanya, mengingatkan Adit akan sosok tegar pahlawan perempuan dari Aceh.
Ini fase perkenalan. Ta'aruf orang bilang. Fase kenal bagi dua orang yang ingin menikah.
Waktu serasa lambat, kala dua sahabat itu duduk menunggu di ruang tamu yang diterangi bohlam sepuluh watt. Ketika akhirnya Ravik muncul dan tersenyum manis sambil mengucap salam, Adit merasa dunianya bersinar.
Barangkali Riza benar, pikir Adit sambil matanya mengawasi Ravik yang bicara dengan pandangan tertunduk, perempuan shalih tak memandang fisik.
Mereka berbicara panjang lebar. Diskusi tentang macam-macam. Saat itulah, ketika Adit dengan susah payah bangkit menyambut Ravik yang tangannya penuh nampan dan toples, mata gadis itu tertumbuk pada kruk kayu di ketiak laki-laki itu. Raut manisnya yang pias tertangkap basah. Adit tak akan lupa.
Laik masa kenal dan dilihat, ia memang takberoleh jawaban malam itu. Tapi, Adit merasa lebih dari bisa menebak. Dan, dugaan lelaki itu ternyata tepat. Ravik menolaknya!
Setelah itu, pintu demi pintu yang lain menutup diri darinya. Rinda yang perawat, Nesa—sepupu istrinya Riza, Sirum eh Arum yang anak sastra Jerman, Sinta yang ketua keputrian Kalimanah, adik kelas mereka, bahkan Tysa, gadis hitam manis yang berkerudung, anak ibu kantin di kantomya. Semua menolak!
Awalnya tentu sangat menyakitkan bagi lelaki itu. Untunglah, Riza tak pernah meninggalkannya. Sahabat baiknya itu selalu mengajaknya untuk kembali berpikir positif setelah mereka mendapat respons negatif dari gadis-gadis yang didatanginya. Sikap Riza benar-benar mewakili dunia networking yang digelutinya belakangan.
"Mungkin mereka belum siap ya, Dit?" "Mungkin mereka masih mau kuliah." "Mungkin..."
Berbagai dalih yang disampaikan dan diulangi Riza, demi menjaga perasaan, akhirnya dipatahkan Adit.
"Atau, mungkin mereka tak mau punya suami pakai kruk macam aku, Ri!"
"Dit..., jangan begitu!"
"Ini kenyataan. Dan, kalau perempuan terpilih macam mereka saja yang aktif dalam dakwah, yang shalihah, yang mengejar surga katamu, tak siap bersuamikan aku, bagaimana yang lain?"
Untuk kali pertama dalam persahabatan mereka, Riza kehilangan daya menghibur sahabatnya. Ahh, apa yang salah dengan perempuan-perempuan itu? Tidakkah mereka melihat ketampanan dan keimutan Adit? Otaknya cerdas, dan memang laki-laki itu sangat cerdas. Tidakkah mereka melihat kemahiran Adit berorasi? Wawasannya yang luas. Tidakkah?
"Ri, mereka pun melihat aku cacat!"
Keletihan itu sungguh menguras batin dan energinya. Awalnya, ia masih mencoba berjalan. Meraih handle pintu-pintu yang dilewatinya. Tapi, beberapa tahun terakhir, Adit merasa apa yang dilakukannya sia-sia belaka. Maka, lelaki muda itu pun mulai mengunci hati. la menyibukkan diri dengan berbagai tugas kantor, berbagai aktivitas kemasyarakatan. la tetap pribadi yang baik. Hanya saja soal mengetuk pintu hati perempuan menjadi hal sensitif yang menyisakan goresan perih.
la bahkan sudah berpikir untuk benar-benar menyerah. Dan itu mungkin, andai saja malam itu Riza yang sudah lama hilang, tidak tiba-tiba muncul dan mengusik dengan semangat khas orang-orang multi¬level!
"Dit, ayolah. Jangan menyerah!"
Riza belum kapok juga menyemangati setelah tiga tahun mereka tidak bertemu. Dan, lelaki itu tak bisa menahan iba melihat penampilan Adit yang jauh berbeda. Dulu, sebelum keberangkatannya ke daerah untuk tugas kantor, Adit masih rapi dan klimis.
Sementara, sosok di hadapannya sekarang...
"Kenapa wajahmu jadi penuh onak dan duri begini?"
Sahabatnya tertawa. Meraih kruk dan menggeser duduknya mendekati Riza.
"Kamu aneh Dit, pake cambang dan kumis begitu. Gondrong lagi!"
Adit tak memedulikan. Tangannya meraih toples dekat meja dan membukanya untuk Riza.
"Rapi atau gondrong, apa bedanya bagiku, Ri?"
Riza menggelengkan kepala.
"Dit, jangan menyerah. Kamu tidak boleh patah semangat dong. Jangan berputus asa dari rahmat Al¬lah! Masih banyak gadis-gadis lain di luar sana!"
Adit tersenyum kecil.
"Ya, dan mereka semua menutup pintunya untukku. Sudahlah. Gimana kabar istri dan anak-anakmu?"
Obrolan mereka berlanjut ke hal-hal lain. Di luar penampilannya yang lebih kucel, Adit masih sama. Simpatik, pintar ngomong, dan cerdas.
"Seandainya aku perempuan, Dit. Pasti..."
"Seandainya kamu perempuan, wuihh, aku tak berani membayangkannya. Pasti menyeramkan!"
Riza yang diserobot, terpingkal-pingkal. "Dit, sekali ini saja. Please? Ikut aku?" Adit cepat-cepat menggeleng.
"Aku capek, Ri. Letih membayangkan orang-orang menampar pintunya depan mukaku."
Riza tidak setuju. Tangannya menunjuk ke lampu ruang tamu.
"Bayangkan Thomas Alfa Edison. Dia melakukan percobaan hingga ribuan kali, baru berhasil. Coba kalau ia menyerah dihitungan kelima ratus, misalnya?" ujarnya gigih.
"Beri kesempatan satu kali ini. Ayolah!"
Dan, tanpa menunggu jawaban Adit, Riza sudah menyiapkan segalanya. la sendiri yang memilihkan kemeja bertangan panjang untuk Adit, lalu sepatu, celana panjang untuk mengganti sarung lusuh, dan terakhir alat cukur.
"Ya. Biar rapi. Cepat, kita tak punya banyak waktu!" Satu jam kemudian, dua sahabat itu sudah berada di depan sebuah rumah megah. Seorang satpam membukakan pintu gerbang untuk mobil Riza, sebelum menutupkannya kembali.
"Anak pejabat, Ri?"
"Bukan, Dia perempuan pengusaha. Orangnya begini!" Riza mengacungkan ibu jarinya, "top habis! Pokoknya Te O Pe Be Ge Te lah Dit !"
Mereka tak menunggu lama dalam ruang tamu yang beralas karpet tebal. Seorang gadis berpakaian hijau pupus melangkah mendekati mereka, lalu tersenyum ke arah keduanya.
"Apa kabar, Riza?" "Alhamdulillah, baik, Mbak!"
Adit merasa sahabatnya mestilah sudah gila mengajaknya kemari. Gadis di depannya punya lekuk wajah yang lebih dari cantik, juga dua bola mata yang tenang, menyiratkan kecerdasan. Dengan alasan apa Riza berpikir menjodohkannya dengan gadis berwajah bidadari ini?
"Ssst..., namanya Pima. Lengkapnya Pima Primasiwi. Ia senang dipanggil Pima !"
"la lebih tua? Kamu memanggilnya mbak?"
"Psstt…bukan begitu. Itu hanya reflek. Aku merasa tak pantas memanggilnya cuma nama."
"Kenal di mana?"
"Oh," Riza menjawab dengan suara lebih pelan, "dulu pemah kupresentasi!"
‘’Waduh!’’ Begitulah kalau punya bakat MLM, pikirku.
Pima hanya tersenyum saja mendengar keributan dua sahabat tadi.
"Mbak Pima ini punya usaha sendiri di bidang..."
Dalam sekejap, Riza menyebutkan seluruh kehidupan Pima yang luar biasa, melebihi public re¬lations mana pun. Perkenalan yang membuat hati Adit kian menciut. Di matanya, Pima memiliki segalanya; kekayaan, paras yang cantik, kedudukan. Kemandirian gadis itu sungguh membuatnya rikuh. Lantas, apa yang membuat gadis sesempurna itu belum menikah?
"Bagi saya, pernikahan bukanlah sebuah penyelesaian suatu keadaan."
Setuju, timpal Adit dalam hati.
"Menikah adalah keputusan besar. Saya tidak bisa menikahi siapa pun yang hanya berlandaskan ketertarikan fisik semata karena, bagi saya, itu bisa sangat menipu."
Ya, Pima benar. Tampaknya, sejauh ini mereka memiliki pemikiran yang sama.
"Pun karena alasan kemapanan atau status sosial. Saya tidak bisa menikah hanya demi memuaskan sta¬tus sosial kalangan tertentu."
Ooo... Bibir Riza dan Adit membulat berbarengan. Menyadari itu, keduanya tersenyum malu. Untunglah Pima tak melihatnya.
"Menikah adalah kebahagiaan hati, bukan begitu, Ri?"
Riza memerlukan waktu beberapa detik, sebelum dengan sedikit gagap menjawab, "I..iYa... Sepakat, Mbak!"
*********
Setelah malam itu, Adit dan Pima menjadi lebih akrab. Mereka tak sering bertemu, lebih banyak bertukar kabar lewat e-mail, sms, atau yM. Waktu yang berlalu kian memupuk rasa kagum di hati Aditya Nur Imut eh Nur Iman akan gadis yang satu itu.
"Lamarlah. Buat keputusan besar!"
Riza menyemangati. Adit menggelengkan kepala.
"Aku masih trauma, Ri. Lha, gadis-gadis yang di bawah standarnya saja menolak, apalagi dia? Biarlah, setidaknya kami memiliki persahabatan yang unik."
"Wah, payah. Kamu tidak ingin dapat lebih apa?"
"Lebih?"
"Ya, memilikinya sebagai istri. Begitu."
"Bagaimana kalau ia menolak?"
"Maka, kalian tetap berada pada persahabatan yang sekarang. Nothing to lose, Dit! Aku yakin, dia cukup bijak untuk itu. Pertanyaannya adalah, bagaimana jika ia menerima?"
"Masa?"
"Mungkin saja! Tapi, kita nggak akan pernah tahu kan?"
"Ya, kecuali mencobanya.”
Tepat!
Malam itu, dengan berlapis-lapis keberanian, mereka mendatangi rumah Pima.
Tapi, pintu gerbang terkunci rapat. Satpamnya hanya berteriak tanpa membuka pagar.
"Bu Pima ke Singapura."
"Sama siapa?"
"Saya nggak tahu, Mas!"
"Kapan pulangnya?"
Hening. Lalu, "Saya nggak tahu, Mas! Ke sini aja lagi!"
Adit merasa keberanian yang dikumpulkannya menguap. Apalagi, ketika esok dan esoknya, sms, yM atau e-mailnya tak pernah dibalas gadis cantik itu.
Tiba-tiba lelaki itu melihat pintu yang sedang coba diketuknya, kembali tertutup rapat. Deritnya menyanyikan melodi masa silam yang membuat nyeri tak hanya telinga, tapi juga jiwanya.
Delapan minggu, ia tak mendapat kabar apa pun dari Pima. Adit sempat merasa tubuhnya tak menapak. Limbung. Tapi hari ini, ia mendapat e-mail. Syukurlah, gadis itu sudah di Jakarta lagi.
"Bagus, Dit! Langsung lamar sebelum dia pergi lagi!" nasihat Riza yang membuat laki-laki itu kontan
"Apa bisa?"
"Bisa saja! Biar penasaranmu cepat tuntas. Biar penasaranku juga tuntas!"
Adit tak langsung mengiyakan. Sebaliknya, lelaki itu tepekur beberapa lama. Kejadian-kejadian ini, belum-belum sudah membuat tubuhnya tak bertenaga. Akankah menyisakan keletihan yang lain?
"Pernikahan, Dit! Pernikahan!"
"Kenapa dengan pernikahan?"
Riza tampak gemas.
"Pernikahan itu bisa menjadi bahan bakar yang melejitkan kemampuan dan potensi seseorang! Trust me!"
la hanya tersenyum tipis dan menjawab kalimat Riza dalam hati, "Dan, gagal menikah, akan jadi duri yang hidup di jantungmu dan diam-diam mencuri umurmu!"
Lelaki itu tidak tahu, apakah senyum Riza dan perkataan trust me-nya yang membuat ia menuruti permintaan sahabatnya itu untuk berkemas. Atau, setitik harapan, biarpun setitik, tetaplah sebuah harapan dan lebih dari layak untuk diperjuangkan.
"Pakai bajumu yang terbaik," ujar Riza setengah memberi perintah.
Meski enggan, Adit mengambil juga kemeja biru tua berlengan panjang dengan motif kotak-kotak.
Sebelum berangkat, Riza masih menyempatkan diri mengamati penampilan Adit dengan kruk di ketiaknya.
"Gimana?"
"Good! Ini baru sahabatku. Penuh semangat, penuh antusiasme, penuh..."
"Ri, cukup!"
Riza tertawa, kontan menghentikan ocehannya.
Sejam berikutnya, mereka sudah duduk berhadapan dengan Pima. Gadis itu kelihatan jauh lebih kurus. Wajahnya yang oval lebih tirus dari biasanya.
Menyadari rekaman yang detil dari memorinya, Adit terkejut sendiri. Gadis ini terpatri dalam ingatannya lebih dari sosok manapun yang dikenalnya!
Maka, dengan mengucap bismillah, laki-laki yang beberapa menit tadi merasa darahnya beku, seolah tubuhnya digantung terbalik, mulai bicara. la tak berani menatap paras anggun Pima sebab takut perubahan wajah gadis itu akan melemahkan semangatnya.
Entah kekuatan dari mana yang membuat ia terus bicara. Adit seolah lupa akan pintu-pintu yang tertutup. Lupa soal kakinya yang cacat. Lupa kalau ia berhadapan dengan Pima, perempuan pengusaha muda yang memiliki beribu pesona Cleopatra. Perempuan yang dalam hitungan beberapa detik kemudian, pasti merontokkan pertahanan yang belakangan ini dibangunnya, begitu ia bilang "tidak!".
Tapi, ajaib, Pima bukan seperti perempuan lain yang dengan tak sabar mengatakan tidak. Sebaliknya, gadis itu malah menangis, terisak, dan sulit dihentikan.
"Terima kasih," jawabnya sedikit terbata.
"Untuk?"
"Kesediaan melamarku, Dit."
Adit terpana. Kali pertama dalam sejarahnya, calon istri yang dilamarnya mengucapkan terima kasih.
"Tapi….."
Adit masih mengejar. la merasa kalimat Pima belum final. Seterusnya pasti ada tetapi, akan tetapi, atau mungkin namun... yang berujung dengan penolakan.
Barangkali cara gadis ini lebih halus.
Namun, di depannya, Pima menatap tak mengerti.
"Tapi?" kejar Adit lagi, membuat gadis itu tertawa. Bibirnya membentuk lengkung pelangi terbalik. Begitu indah di mata Adit yang sederhana.
"Tidak ada tapi," jawab Pima tegas, "Ya, jika niatmu melamarku bukan karena fisik!"
Adit melonjak di tempat duduknya.
"Ini bukan soal fisik, Pima."
"Terima kasih."
"Untuk apa?" ucap Adit tak mengerti.
Pima menyeka matanya yang basah dengan tisu.
"Dulu sekali, Guh, mereka menganggap aku terlalu tinggi untuk dilamar. Sekarang, seandainya mereka tahu pun, entah kaum lelaki itu akan berbondong atau berlari menghindar."
"Kenapa?"
Pima mengangkat dagunya.
"Tatap mataku, Guh. Tak apa."
Dua bola mata yang hitam, dengan lentik bulu mata, menatap kedua lelaki itu tanpa kedip. Tuhan..., bintik di mata Pima kehilangan pendar. Adit baru menyadari tatapan gadis itu yang sepenuhnya kosong. Mau tak mau ia terhenyak. Pima tak bisa melihat? Sejak kapan?
"Aku kecelakaan, Dit."
Di kursinya, Adit memejamkan matanya rapat. Dunia baru Pima, menjadi dunianya. Siapkah dia? Seumur hidup, Adit mencari orang yang bisa mengerti dan menerima dengan lapang dada akan kekurangan fisiknya. Bisakah ia melakukan hal yang sama? Tak menuntut? Namun, sudah watak manusia, tak pernah mudah menundukkan ego!
Ruangan seperti kosong. Dunia berhenti berputar. Riza menunggu. Pima menunggu. Sementara, Adit berperang dengan egonya. Tetapi mukanya yang imut tetap memancarkan pesona pangeran.
"Maafkan aku, Dit," bisik Riza, melihat kegalauan di hati sahabatnya. Bukan niatnya mencarikan istri yang buta untuk Adit. la sama sekali tak tahu.
Di sampingnya, Adit mengangguk. Rahang lelaki itu mengeras ketika menatap Pima yang menitik air mata.
"Pima," suaranya kemudian terdengar serak, "aku akan menjadi matamu!"
Senyap. Riza terkejut di tempat duduknya. Pima sebaliknya, tampak mengusap air mata yang tadi mampir di pipinya, lalu….tersenyum. Senyuman terindah dari seorang wanita berparas Cleopatra yang pernah Adit lihat.
"Terima kasih, Dit."
Lalu lanjutnya, dengan bola mata yang tiba-tiba gemintang,
"Dan, maafkan aku. Tapi...kemeja kotak-kotak birumu, aku suka!"

Tidak ada komentar: