Minggu, 19 April 2009

Tunggu Aku Cinta....

“Pima!” hatiku bergetar hebat.
Gadis di hadapanku menunduk dan menganggukkan kepala. Aku terpana. Dia masih secantik dahulu. Bahkan lebih cantik!
Sejenak aku tak dapat berkata-kata. Mengawasinya dengan seksama. Sebuah pertemuan yang selalu hadir dalam lamunan-lamunanku, kini menjadi kenyataan. Letupan-letupan
bahagia membuatku seperti orang mabuk, linglung dan salah tingkah.
“Apa kabar kak Adit?”
“Aku tergugu. Sapanya masih ramah. Seramah senyum yang selalu hadir di wajahnya. Dan… pancaran wajahnya yang selalu tersipu-sipu malu itu. Ah! Pesona itulah yang tak pernah lepas dari lamunanku.
“Kok tumben kemari? Tidak kuliah?” dengan susah payah kucoba memperbaiki
sikapku. Kubuat diriku setenang mungkin. Aku tak mau kehilangan wibawa di hadapannya.
Gadis itu, Pima, menggelengkan kepala.
Ingin aku bertanya: “Apakah kedatanganmu ke tempat ini untuk melihat aku membaca
puisi? Kau tahu bahwa hari ini aku membaca puisi kan?” Tapi lidahku terasa kelu. Aku
tak sanggup bertanya penuh keyakinan seperti itu. Aku takut dianggap ge-er. Juga, hatiku
yang paling dalam memberi peringatan padaku. Aku tak boleh terlalu berharap!
Walaupun, tanpa dapat kucegah, harapan itu sendiri telah melambung tinggi. Kenyataan
bahwa Pima menemuiku di tempat ini, membuatku berpikiran bahwa Pima memang memiliki sebuah rasa kepadaku sejak pertemuan kami beberapa tahun silam.
Suara Ravik terdengar memanggilku. Dan, belum lagi aku menjawab Ravik telah berada
di sebelahku.
“Eh, sorry ya. Mengganggu nih. Tapi, giliranmu membaca puisi sudah tiba, Dit. Atau, aku minta pada panitia untuk merubah susunan acaranya?” Ravik bertanya sambil melirik
Pima.
Aku tahu Ravik tentu heran dengan kelakuanku yang tak seperti biasanya : Bercakap-
cakap dengan seorang gadis seperti tak menghiraukan kemunculanku dipanggung nanti. Pernahkah aku berkelakuan seperti ini di hari-hari kemarin?
“Eits! Jangan dong Vik!” aku cepat mencegah niat Ravik. Kapan lagi aku dapat mempertunjukkan kebolehanku di hadapan Pima?
“Kau mau menemani Pima kan, Vik? O ya. Kalian belum berkenalan. Ini Ravik, temanku yang sealiran di bidang puisi dan sastra. Dan ini Pima,” lalu akupun bergegas ke
belakang panggung, mempersiapkan diri untuk pembacaan puisi, tanpa menunggu
jawaban Ravik maupun Pima. Walaupun sempat kulihat, kekagetan di wajah Ravik. Ya. Ya. Ravik memang pernah kuceritakan tentang Pima.
Pikiranku terbang pada kejadian setahun yang lalu. Pada pertemuan pertamaku dengan
Pima. Gadis manis yang kujumpai tanpa sengaja di dalam bis kota. Sungguh. Banyak
gadis manis yang kujumpai dalam perjalanan hidupku. Apalagi profesiku yang rangkap sebagai penulis cerpen, pembaca puisi dan wartawan majalah, memungkinkan aku bertemu dengan aneka macam gadis. Dari gadis biasa, sampai gadis yang menyandang gelar artis. Tapi, tak pernah aku merasakan getaran halus seperti yang kurasakan ketika bertemu dengan Pima.

Pima mempunyai sesuatu yang lain, entah apa, tapi sanggup membuat aku terpesona sekaligus jatuh cinta. Ya. Jatuh cinta pada pandangan pertama. Hal yang selama ini kuanggap tak mungkin terjadi dalam hidupku. Karena sebenarnya, sebelum bertemu Pima, aku penganut paham cinta datang karena kebiasaan. Tapi, Pima yang kutemui di
dalam bis kota, memporak-porandakan paham itu. Aku cinta padanya. Itu fakta yang tak dapat kutolak!
Dan jika hatiku telah mengatakan cinta, maka otakku pun akan memerintah : Kejar dan tundukkan gadis itu
Oleh karena itu, ketika bisa berhenti di halte bis dan kulihat Pima turun, aku pun ikut turun. Mengikuti langkah Pima dengan gaya spionase. Hingga akhirnya, kuketahui
rumahnya!
“Selamat siang. Aku wartawan dari sebuah majalah…..,” srategi perkenalanku berjalan
lancar. Dan untuk pertama kalinya pula, aku mengucapkan syukur atas profesiku sebagai wartawan.
“Aku ingin membuat tulisan tentang suka dukanya kuliah. Kau mau membantuku kan?” Gadis itu tersenyum ramah. Ah. Hatiku makin tertikam. Aku ingin segera memilikinya!
“Boleh saja.” Sambutnya yang hangat dan penuh persahabatan itu membuatku ingin bersorak.
“Kau kuliah di…..”
“Fakultas Kedokteran.Jurusan Kesehatan Masyarakat, tepatnya”
Fui! Hatiku menciut. Calon dokter rupanya gadis ini he?! Sedangkan aku…..
“Tingkat berapa?”
“Baru tingkat satu,” gadis itu, yang mempunyai nama Pima, menjawab sambil tersenyum.
Kutatap wajahnya. Pima tersipu. Ah. Dia memang masih muda. Sangat muda bila dibandingkan dengan aku!
“Senang dengan puisi dan cerpen?” entah mengapa aku jadi ingin tahu tentang dunia yang biasa kugeluti itu.
“Hmm. Kalau cerpen senang tapi kalau puisi …., Pima menggelengkan kepala.
“Aku tak pernah bisa menikmatinya.”
“O ya? Pernah melihat orang membaca puisi?” Pima menggelengkan kepala.
“Aku…. Ah, ya, kurasa aku tak menyukai puisi. Bolehkan aku berterus terang?” Kepalaku mengangguk. Kuhargai kejujurannya. Walaupun ada sedikit penyesalan di
sudut hatiku.
“Kak Adit suka puisi?”
Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu.
“Tentu saja,” dan aku pun bercerita tentang kegiatan-kegiatanku. Semuanya. Sehingga
ketika aku pamit untuk pulang dan merenungkan semua pembicaraan itu dirumah, baru kusadari bahwa aku lebih banyak bercerita tentang diriku, mengorek keterangan
sebanyak mungkin tentang dirinya dan… mengabaikan tujuan semula yang kuutarakan – Walaupun sebenarnya itu memang taktikku belaka.
Untungnya, Pima pun tak pernah bertanya-tanya tentang hal itu. Kedatanganku pada hari-hari berikutnya selalu disambut dengan ramah dan hangat, penuh persahabatan.
Pima benar-benar menerima kehadiranku tanpa pamrih. Tidak seperti gadis-gadis lain yang banyak mendekatiku dengan maksud agar dirinya dapat dipublikasikan. Pima

sungguh berbeda! Sehingga membuat hasratku untuk memilikinya pun semakin menggebu-gebu.
Dan ketika tekad itu semakin membulat, kuambil selembar kertas. Bukan untuk menulis kegiatan jurnalistik, bukan untuk menulis puisi, bukan juga untuk menulis cerpen. Bukan
semua itu! Tapi aku ingin membuat surat cinta. Ya, pernyataan cinta lewat surat, harus segera aku utarakan. Agar pikiranku bisa tenang, sesak dadaku bisa berkurang dan….
Agar aku bisa melihat wajah cantik itu tersenyum manis kepadaku.

Kepada
Bidadari Surga yang turun ke bumi
Dimanapun kau berada

Pima yang baik,
Untaian kata senandung pengobat rindu bagi jiwa telah terlantunkan dan menggemakan namamu. Selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari setiap mimpi dalam tidurku. Aku berlari mengejar cintamu, atas nama cinta. Tak ingin rasanya melihat matamu tergenangi racun jingga karna terluka.
Jiwa ini telah terpenjara oleh cintamu. Lukisan alam paling indah yang pernah kulihat adalah wajahmu. Sungguh, tak pernah ku merasa begitu nyaman berada di dekat seseoramg selain berada di dekatmu, bidadari.
Ah…pesonamu selalu mengingatkanku akan pesona Cleopatra yang kan buyarkan dunia. Dan kau adalah Cleopatra untukku.
Andai saja kau ada di sini, aku kan belari menyergap bayangmu, di batas mimpi ini aku melihatmu disana. Dalam tangis..dalam tawa…Rebah manja di pelukan kebahagiaan dan kepedihan..
Saat lembut sapamu terucap dan mata lugumu menggugat, tanpa kusadari lajunya cintamu menusukku. Di pelukan cintamu, semua rasa meletup, menyatu. Seirama mengukir hari yang sepi dan detik yang ramai dalam rindu bahagia yang tak berpenghujung.
Aku percaya,mencintaimu adalah pilihan dari setiap hidup yang kuyakini. Aku selalu berharap, cintaku akan selalu sempurna kepadamu.
Abadi…dan untuk selamanya

Barangkali semua yang telah kau baca akan kau anggap hal paling gombal
yang pernah dilakukan seseorang padamu. Dan juga hal paling konyol yang pernah kulakukan kepadamu.Tapi, yang jelas, aku sudah mencoba untuk berlaku jujur pada diri sendiri dan engkau. Ya, meskipun semua ini diketik ( tapi tulisan tanganku memang buruk kok). Dan pakai kop surat majalah dimana aku bekerja (aku memang tak pernah terampil memilih kertas surat yang manis untuk soal begini, kecuali dalam cerpen-cerpenku) Aku ingin mengatakan, Aku mencintaimu.
Terserah padamu, untuk menolak atau menerima. Yang penting dan harus kau ketahui
adalah bahwa aku benar-benar mencintaimu dan ingin kau bersedia menjadi ratu yang duduk di singgasana hatiku. Balasanmu kutunggu
.
Adit



Ya. Katakan aku pengecut, karena memakai surat untuk menyatakan Cinta. Tapi, apa
boleh buat. Kenyataannya memang demikian. Aku takut tak siap mental jika harus
menghadapi kejadian yang tidak enak! Lain lagi jika aku telah yakin sepenuhnya bahwa cintaku tak akan ditolak. Itu tentu akan kuhadapi dengan face to face.
Kak Adit yang baik,
Saat awan menyentuh bibir langit biru, di setiap pagi menjelang dan senja yang datang, ku selalu menebas kemarau rindu. Dinginnya embun memuji pagi, seperti terang matahari yang menyambut pagi.
Kehadiranmu dalam hidupku, seketika menggugat bibirku untuk tersenyum. Menancapkan sebuah pesona dalam hatiku. Akan selalu kunanti senyummu dalam mimpi dan nyataku. Kan kutemui kau esok hari dalam bahagia nyata.
Jemputlah cintaku dengan apa adanya dirimu. Bahagiaku berkumandang menyambut uluran hatimu..
Manis selalu, Pima.



Aku termangu membaca balasan Pima. Ya. Ya. Pima memang manis. Dan tetap manis walau pun dia menghilang setelah membalas surat cintaku. Aku tak tahu kemana Pima pergi, hingga hari ini akhirnya aku menemuinya kembali. Sungguh bahagia yang menggebu-gebu kurasa.
“Hei, Adit! Siap? Giliranmu sekarang!” suara Aris Munhari membuyarkan lamunanku. Dengan semangat tinggi dan konsentrasi penuh, aku melangkahkan kaki ke atas panggung. Aku ingin membuat Pima, terpesona akan penampilanku. Dan sekaligus, kalau bisa jatuh cinta padaku. Bukankah setiap orang pernah melihatku membaca puisi
selalu berkomentar bahwa aku mempunyai kharisma tinggi yang memabukkan?
Dan benar dugaanku. Sambutan hangat dan tepuk tangan yang bergemuruh terdengar bersamaan dengan habisnya baris-baris puisi yang kubaca. Hatiku senang. Dadaku mengembang. Apalagi ketika Tedi menjabat tanganku erat-erat sambil berkata.
“Benar-benar memukau. Luar biasa. Pembacaan puisimu yang terbagus yang pernah ku
lihat.”
Ah. Ingin rasanya aku cepat-cepat menemui Pima. Pembacaan puisi kali ini kutujukan
padanya, sesungguhnya. Oleh karena itu, aku ingin mendengar komentarnya. Ingin sekali!
“Adit…”
“Hei Pima kau tinggalkan sendirian, Vik?” aku terperangah melihat Ravik yang sudah
berdiri dihadapanku.
Ravik menganggukkan kepala.
Aku menatap Ravik tajam. Kubayangkan Pima yang celingukan sendirian. Ingin kumarahi Ravik, tapi aku tak tega. Ravik selalu baik teramat baik malah! Bahkan, Ravik mencintaiku. Begitu pengakuannya yang pernah kudengar.
“Kasihan Pima. Aku ingin menemaninya,” hanya kata itu yang dapat kukatakan pada
Ravik.
Tapi Ravik menghalangi jalanku. Dan ketika keningku berkerut tanda tak senang dengan
perlakuannya, Ravik menyodorkan sebuah amplop sambil berkata.
“Dia telah pergi begitu kau meninggalkan dia naik ke atas panggung.”
Pima? Aku benar-benar kaget dan shock mendengar penuturan Ravik. Apalagi ketika amplop di tanganku kubuka dan tulisan yang ada di dalamnya kubaca. Untuk inikah Pima datang da menemuiku?

Kepada
Kak Adit
Setelah turun dari pentas


Setelah cinta kujaga setia, rinduku menyatu bersama degup jantung yang memberiku setitik cerah. Cerita rindu dan penantianmu kurajut dalam benang merah terindah. Hari-hariku tak lepas dari kegelisahan…
Aku tak berani menerjemahkan isi hatimu. Tanda pertanda yang kuat dan ku berkutat dengan damba dan penantianmu, membawa getar cintamu padaku.Nyata aatau semuanya senyumku, mungkin kamu yang tau jawabnya. Kemudian izinkan cintaku tuk menepi dan berlabuh dalam dermaga indah dalam alur hidupmu.
Tak beringsut aku menyapa hatimu, berharap janji cinta kita kan bersatu


Salam sayang selalu
Ratu di singgasana hatimu
Pima

Mataku berkunang-kunang. Percaya tak percaya membaca surat yang Pima berikan kepadaku. Tanpa menyianyiakan waktu lagi, ku segera bersiap menemui cintaku yang akan kuucapkan kepada Pima yang bersambut menjadi indah.
Ku akan datangi Pima. Kuucapkan janji itu di batas waktuku. Beberapa tahun yang lalu, ketika kau memberikan balasan akan surat cintaku. Ya di tempat itu pula aku akan menjemput cintamu.
“Mau kemana Dit?” tanya Ravik
Dengan senyum yang melebar di ujung bibirku, sambil tersenyum ke Ravik ku berkata,
“Akan kujemput cintaku Vik. Tunggu aku cintaaaaa……”

Tidak ada komentar: