Minggu, 19 April 2009

Ravik, Pima dan Aku

“Hai, Dit! Kamu ada minat ikut tour tidak?” Tanya Ravik ketika ketemu aku di toko buku.
Aku tak segera menjawab, dan pura-pura sibuk saja mencari sebuah buku yang lupa aku judulnya.
“Kamu tuli ya?” bentaknya tanpa tedeng aling-aling.
Aku senyum-senyum. Untung saja keadaan di toko itu agak sepi. Lalu, tanpa
kuduga, tiba-tiba sebuah cubitan mendarat dilenganku. Aku meringis.
“Sakit tidak?” tanyanya membuatku keki.
“Kamu kejam, ah!”
“Habis, kamu sombong betul!”
“Bukan sombong, tapi kepalaku sedang pusing.”
Ravik mencibir. Dan aku kembali seperti semula, mencari buku yang aku
butuhkan.
“Bagaimana, kamu mau ikut tidak?” Ravik mengulangi pertanyaannya.
“Entahlah, aku pikir-pikir dulu,” sahutku malas-malasan.
Ravik menatapku sejenak. Secepat kilat aku menyembunyikan wajah di balik buku
yang tengah kupegang.
“Lho, kok jadi begitu? Biasanya kalau sanggar kita mengadakan piknik, kamu
selalu bersemangat. Tapi sekarang, mengapa loyo, seperti orang yang sedang frustasi?” Aku membungkam. Kamu tidak tahu apa yang telah terjadi pada diriku. Dan hal
ini memang sengaja tak aku ceritakan kepada Ravik. Kalau aku ceritakan, bisa-bisa
seluruh warga sanggar akan ramai oleh ocehan teman-teman yang akan menambah parah
saja. Hal itulah yang amat kutakuti. Maka jalan yang paling baik, adalah menguburnya dalam-dalam.
“Kamu lagi baca apa sih, kayaknya asyik betul?” suara Ravik memecahkan kebisuanku. Aku jatuhkan buku dan menatapnya lekat-lekat.
“Jangan melihat aku seperti itu. Aku paling tak suka! Katanya.
“Memang kenapa?”
“Tak usah Tanya!” Ravik nampak sewot. Aku tertawa kecil.
“Uh! Malah tertawa!” katanya.
“Apa?” aku pura-pura tarik urat. Padahal aku tahu, matanya menyimpan suatu
rahasia. Namun aku tak mau mengatakannya terus terang, lantaran ia seorang gadis yang memiliki perasaan halus. Kini wajahnya ditekuk. Masam. Melihat hal itu, akhirnya aku kasihan juga. Karena biar bagaimanapun dia adalah temanku. Dengan hati-hati aku mendekatinya.
“Kamu marah ya, Ravik?”
Ia tak menjawab. Digratiskannya kata-kataku itu sambil membuang muka. Bah,
repot! Ketika aku sadar, ternyata berpasang-pasang mata pada menonton kami. Tanpa memikirkan kedongkolan Ravik lebih lanjut, dengan akrab kucekal tangannya erat-erat.
“Yuk, kita pulang!: ajakku.
Sesaat ia memandangku, kemudian mengganguk.

***


Aku tengah mengetik sebuah cerpen, ketika tiba-tiba bel di rumahku berbunyi
nyaring. Serta merta aku memburu ke pintu depan.
“Hallo!” sapa Ravik ketika pintu terbuka lebar.
“hallo, hallo!” sambutku sedikit bergurau.
Tanpa menunggu perintah, kontan saja ia masuk. Hal seperti ini memang sudah
menjadi kebiasaannya. Sikapnya yang bersahabat kadang-kadang membikin letup-letup aneh di sudut sanubariku. Dan terkadang pula aku merasakan kesejukan dalam jiwaku, apabila ia memberi seulas senyum manis plus membagi kedipan mata yang sukar bagiku untuk melukiskannya dengan kata-kata.
“Kok, tumben kamu ada dirumah?” tanyanya membuat aku setengah terkejut. Aku tersenyum getir.
“Memang tak boleh kalau aku di rumah?”
“Boleh-boleh saja, tapi ini kan malam Minggu. Tak lucu kan mengurung diri di
rumah?”
Hmm, bagiku ini tak ada istilah malam minggu. Semua malam kuanggap sama

saja.”


“Ah, kenapa begitu?”
Dan aku pun tak mampu menjawabnya. Yang dapat kulakukan hanya membisu.

Lalu Ravik pun melakukan hal yang serupa. Hening. Terlintas kembali sebuah pukulan
yang membuat batinku remuk. Betapa tidak, persis di depan mataku, Pima, pacarku jalan bergandengan dengan cowok lain, begitu mesra. Hingga detik ini rasa sakit masih membekas dalam diriku. Kalau saja saat itu aku tidak berpikir panjang, puih, entah apa
yang bakal terjadi. Kemungkinan besar cowok itu telah kuhajar habis-habisan. Seketika
itu pula kepercayaan yang kutanamkan pada Pima, lenyap. Dan kesetiaan yang pernah ia beberkan kepadaku ternyata bohong belaka. Memang tak salah apa yang sering kudengar dari mbak Surim eh Mbak Sirum eh Mbak Arum maksudnya, bendahara sanggar, bahwa mengatakan setia itu mudah, namun yang sulit untuk membuktikan dan mempertahankannya.
Maka jangan menyalahkan aku, jika malam Minggu ini aku tak mengapeli Pima lagi. Aku rasa, siapapun orangnya, bila mengalami hal seperti aku pasti tidak tinggal
diam. Setidak-tidaknya, ingin pula membalasnya. Dan secara diam-diam aku pun sedang menyusun rencana untuk bisa melabraknya. Akan tetapi bukan sekarang. Terus terang,
sebetulnya aku tak ingin masalah ini berkepanjangan. Sungguh!
“Kamu sedang marahan sama Pima ya Dit?” suara Ravik mengejutkan dan
menerbangkan lamunanku.
“Hmm,” Aku mengangkat muka. “Tidak,” gelengku perlahan.
“Ah, masak! Buktinya kamu tidak mengunjunginya malam ini.”
“Ya, ampun! Mengapa Ravik tiba-tiba berkata demikian? Apakah ia dapat meraba
lewat sikapku yang belakangan ini berubah secara drastis? Yang membuat hari-hari lalu penuh bunga habis terkikis oleh hantaman ombak yang datang bergulung-gulung? Yang kemudian melemparku dalam kekecewaan yang amat sangat.
Sejenak kupandang Ravik, lalu tanpa mengeluarkan suara secuilpun aku
melangkahkan kaki menuju ke teras depan. Perlahan kudongakkan wajah kelangit, di sana rembulan bersinar cukup terang. Amboi, alangkah indahnya malam ini. Aku
menarik nafas dalam-dalam. Mendadak keinginanku untuk menggapai rembulan muncul. Tapi mampukah aku?

“Dit, aku tidak percaya kalau di antara kamu dan Pima tidak terjadi apa-apa. Aku jadi ingin tahu, apa sih sebabnya? Jika kamu tak keberatan, coba ceritakan kepadaku.
Siapa tahu aku dapat membantumu,” pinta Ravik tiba-tiba, setelah berada di samping kananku.
Aku hanya menoleh dan menatapnya penuh tanda tanya.
“Hei, Dit, untuk apa suatu masalah di sembunyikan? Terlebih lagi terhadap aku,
teman lengketmu. Dan perlu kamu camkan kata-kataku ini,“
Ia menarik tanganku dan mengajakku duduk di kursi kecil yang letaknya agak di pojok.
“Semakin dalam kamu memendam persoalan, semakin berat pula bebanmu. Dan hal itu akan membuatmu selalu gelisah. Akibatnya, tentu saja kamu sendiri yang menyesal,” lanjutnya mengandung nasehat.
Untuk beberapa saat aku terdiam. Betulkah apa yang baru saja dikatakan Ravik?
“Sorry Dit, aku tidak bermaksud mengguruimu. Tapi, aku ingin membantu dan sekaligus melibatkan diri dengan permasalahanmu itu. Terus terang, Dit aku paling tak
bisa melihat seorang teman kehilangan gairah hanya karena ulah cewek,” katanya ketika dilihatnya aku mematung.
“Tapi, tapi, ah tidak…”
“Tapi apa Dit? Jangan pendam perasaanmu terus-menerus seperti itu,” katanya.
Aku mendongak. Entah apa yang harus kukatakan pada saat pikiranku buntu ini.
“Percayalah, aku akan membantumu,” bujuknya lembut.
Bagai disiram air es, sekujur tubuhku terasa dingin. Dan entah mengapa, tiba-tiba saja aku jadi segar kembali seperti telah terlepas dari siksaan yang sangat pedih.
“Kamu serius?” tanyaku akhirnya.
Ia mengangguk penuh kesungguhan.
Lantas aku menceritakan persoalan yang sebenarnya. Dengan tekun Ravik mendengarkannya, sambil sesekali manggut-manggut.
“Nah itulah, Vik, mengapa malam Minggu yang indah ini aku mengurung diri di rumah,” kataku menutup cerita pahit.
“Oooo. Kalau begitu terkaanku tak meleset dong! Tapi jangan kuatir, Dit, aku akan membereskannya, katanya.
Aku tersenyum, meski hati kecilku masih ragu akan kemampuan Ravik.
“Bagaimana? Kamu percaya denganku?”
Setengah terpaksa aku mengangguk.
“Oke, sekarang juga aku harus kerumahnya!” katanya antusias.
Sebenarnya aku melihat jam yang menempel di tembok. Tepat pukul sembilan
belas. Tak mengapa memang, karena Ravik kan bawa mobil sendiri. Dan lagi, bukan baru
sekarang ia keluar malam.
“Tidak takut, Vik?” tanyaku ketika ia mengeluarkan kunci kontak dari saku
celana jeans-nya.
“Alaa, kayak baru kenal aku saja!”
Sekejap mata ia telah menghilang dari hadapanku. Tinggal aku seorang diri.
Setelah menenangkan pikiran beberapa menit, aku bergegas kekamar untuk melanjutkan
cerpenku yang tadi tertunda. Untunglah tinggal menyelesaikan endingnya saja, jadi tidak terlalu memakan waktu. Sambil mengetik, sesekali kupandang potret Pima yang tengah tersenyum. Untuk kesekian kalinya aku teringat hari-hari manis bersamanya. Ah,
mengapa kisah manis itu tiba-tiba terputus, padahal aku telah berjanji untuk tetap bersatu

dengannya? Mengapa pula dengan tiba-tiba kemarau itu datang membikin tubuhku kering dan jatuh seakan tak berdaya? Namun di atas kesadaranku, aku berpikir, bahwa tak selamanya kemarau itu akan berlangsung. Di suatu saat nanti pasti dia akan sirna, lalu berganti dengan musim dingin.

***

Minggu sore, suasana di rumahku sepi. Papa dan mama sedang arisan keluarga. Ini suatu kebetulan, karena aku merasa bebas untuk melakukan kegemaranku. Setelah beberapa lama aku mengaduk-aduk tumpukan cd lagu-lagu house music, akhirnya pilihanku jatuh pada cd tanpa kotak pembungkus.
Lagi asyik-asyiknya, tiba-tiba daun pintu diketuk orang. Semula aku
membiarkannya, sebab kupikir di sana toh ada bel yang selalu siap di pencet. Aku tetap meneruskan keasikanku, tanpa memperdulikan orang yang mengetuk pintu depan berkali- kali itu.
“Dit! Buka pintu!” seseorang berteriak di luar.
Dengan enggan kuseret sandal yang mengganggur di kolong kursi panjang. Aku terkejut bukan kepalang, begitu pintu kubuka. Dua gadis sama cantiknya berdiri di hadapanku. Mimpikah aku?
“Hai, kok bingung!” bentak Ravik.
“Sedang memikirkan pacar baru barangkali,” sindir Pima sambil melempar pandangan kearah Ravik.
Aku tak bersuara, hanya mataku saja yang menatap dengan tajam. Apa maksudnya datang-datang berkata begitu? Apa dia kira aku ini patung, hingga dengan
mudah ia menumpahkan kesalahannya padaku? Sebenarnya akulah yang pantas berkata begitu. Puih! Dasar cewek, inginnya menang sendiri, gumamku dalam hati.
“Boleh masuk?” Tanya Pima kemudian.
“Silahkan,” perintahku sambil menghilangkan rasa dongkol.
“Terima kasih,” katanya lembut.
Sambil tersenyum-senyum lucu Ravik menguntitnya dari belakang. Aku cengar-
cengir melihat tingkah Ravik. Menurutku ia memang lincah, bila dibandingkan dengan
Indah. Tapi, ah, sudahlah.
“Dit,aku ke belakang dulu ya!” kata Ravik seperti memberi peluang pada kami.
“Ya,” sahutku pendek.
Di hadapan Pima, aku seperti berhadapan dengan orang yang belum kukenal. Tingkahku benar-benar kaku. Aneh!
“Dit, kenapa diam? Kamu sakit ya?” tanyanya.
Aku mengangkat bahu. Ya, aku sakit, tapi bukan tubuhku. Melainkan hatiku yang
sakit, bahkan remuk, sahut hatiku.
“Kalau kamu enggan menimpali pembicaraanku lebih baik aku pulang!” katanya
seraya bangkit dari duduknya.
“Tung… tunggu dulu, aku ingin bicara serius!” cegahku sambil memegang
pergelangan tangannya erat-erat.
“Soal apa?” tanyanya sambil duduk kembali.
“Soal kita!”

“O, kalau Cuma itu aku sudah tahu. Itulah makanya aku datang ke sini dan ingin menjelaskan persoalan yang sebenarnya.”
“Maksudmu?” tanyaku pura-pura bodoh.
“Kamu menuduhku pacaran dengan orang lain kan?” semburnya tepat mengenai
ulu hatiku.
“Tapi memang kenyataan kan?”
“Siapa bilang?” tanyanya melotot.
“Mataku yang bilang!” sahutku keras, tak mau kalah.
Ia menghujamku dengan sorotan mata ganas.
“Kapan?” ia berdiri dan bertolak pinggang.
“Dua minggu yang lalu, kamu berjalan dan bergandengan tangan dengan cowok

lain!”


Ia tertawa kuda sinting. Aku menatapnya dengan emosi yang bergemuruh dalam dada.

Keterlaluan! Rupanya ia masih belum puas menyakiti hatiku.
“Kamu keliru, Dit, cowok itu kan,,,” ia memutuskan kalimatnya.
“Pacarmu! Semprotku dengan emosi meledak.
“Bukan!” tangkisnya cepat. “Dia adalah calon kakakku!”
“Ah!” aku terkejut dan membelalakkan mata lebar-lebar.
“Ja… jadi….,” lidahku terasa kelu, sukar untuk melanjutkan kata-kata.
Ia tersenyum dan memandangi wajahku tanpa berkedip. Seperti anak kecil, aku
menunduk, tapi tak lama. Kini kami bertatapan. Lewat sinar matanya aku dapat merasakan sentuhan lembut yang membuat hatiku sejuk bagai di hembus banyu pegunungan. Dengan begitu, harapanku untuk bersatu kembali dengan Pima hampir menemui titik terang.
Aku menyadari sepenuhnya, bahwa hidup tanpa memiliki cinta dan perasaan di cintai betapa hampa. Aku tak ingin hidupku macam itu. Sungguh, aku tak sanggup untuk membiarkan hari-hari mengalir begitu saja. Mungkin hal itulah yangmembuatku terlalu sering dihantui kecurigaan dan digelayuti oleh perasaan cemburu yang sangat besar. Ini semua karena aku amat takut kehilangan dirinya.
“Melamun?” tegurnya hampir menyerupai bisikan.
Aku sedikit tergagap.
“Kelihatannya kamu bingung.”
Sambil menenangkan diri aku menyandarkan punggung di kursi.
“O, ya, bagaimana? Apa kita tunda dulu masalah kita?” tanyanya.
Buru-buru aku mengembalikan posisi duduk agar maju kedepan.
“Jangan Pim, sebaiknya kita teruskan saja hingga tuntas!”
Ia mengangguk tanda setuju.
“Jadi cowok itu sebenarnyasiapa?” tanyaku mendadak jadi tenang.
“Dia cowok Tia. Saudaraku yang di Surabaya.”
“Oooo,” aku terpana dan kemudian jadi tesipu-sipu.
“Maafkan aku Pima,” kataku.
Ia menggigit bibir bawahnya. Dengan pikiran melayang, aku menunggu
jawabannya.
Tak lama kemudian, ia mengangguk dan mengukir senyum yang teramat manis.
Perlahan aku mendekatinya. Dan dengan lembut kukecup keningnya. Seketika sirna segala duka. Aku membayangkan, hari-hari yang akan datang begitu ceria kami jalani.

Tidak ada komentar: