Minggu, 19 April 2009

Ya Kapten, lau samah, bikam syarith dzai?

Yogyakarta memasuki musim semi. Pagi yang indah. Langit yang cerah. Orang-orang menatap hari dengan penuh gairah. Begitu juga Adit. Ia melangkah memasuki gerbang Universitas Genderal Mudirman eh Universitas Gajah Mada (UGM) dengan semangat membuncah. Fakultas Kesehatan Masyarakat di Jogja demikian ia cintai. Ia bayangkan hari yang indah di depan sana. Mata kuliah Radiologi, Biologi Terapan, Transfusi Kesehatan, Masyarakat dan seluk beluk tenatangnya, Pak Udin si dosen killer yang kudu nyanyi dulu kalo datang terlambat di kelas, Bu Wati si dosen tercantik, teman-teman yang sesemangat, seirama dan seperjuangan. Mencintai rasulullah seutuhnya, tekad membaktikan diri sepenuhnya pada agama Allah dengan menjadi dokter bagi masyarakat. Semuanya menjadi cahaya dalam dada. Menjadi mentari bagi semangatnya.
“Sebelum diangkat menjadi seorang nabi, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Telah dikenal sebagai orang yang paling menjaga amanah di seantero kota Makkah. Sehingga beliau diberi gelar Al Amin. Orang yang sangat bisa dipercaya. Orang yang sangat menjaga amanah. Sifat inilah yang semestinya dimiliki setiap muslim.”
“Menjaga amanah adalah ruh agama ini. Umur yang diberikan Allah kepada kita adalah amanah. Langkah kaki kita adalah amanah. Pandangan mata kita adalah amanah. Hidup kita adalah amanah. Menjaga amanah adalah inti ajaran agama mulia ini. Rasulullah bersabda, Laa diina liman laa amanita lahu. Tidak beragama orang yang tidak menjaga amanah!…
Hari ini ia mendapatkan penjelasan tentang amanah dalam mata kuliah Pendidikan Agama Islam, satu dari empat sifat utama Rasulullah. Pak Djemakin yang lebih akrab dikenal Pak D.J., Guru Favorit Tahun ini berdasarkan voting anak-anak BEM menguraikannya dengan bahasa yang menghidupkan jiwa. Kampus tertua kedua di Indonesia ini tiada henti menempa generasi.

* * *
Pukul dua siang ia pulang. Naik bis menuju Kaliurang, ia menyewa sepetak kamar di sebuah rumah tua di kawasan Kaliurang. Kamar yang pernah dikosin sepupunya yang kini telah menikah dan punya rumah di daerah Kentungan. Ibu kosnya sangat baik. Tak pernah menagih uang sewa kamar. Ia sendiri yang sering malu. Malu pada diri sendiri dan tentu malu pada ibu kos. Pernah ia tidak bisa bayar kos enam bulan. Dan ibu kos tak jua menagih. Kali ini, sudah empat bulan ia belum bayar. Otaknya terus berputar dari mana ia akan dapat uang. Meminta orangtua yang sudah renta sangat tidak mungkin.
Ia hanya selalu yakin bisa membayar. Allah Mahakaya. Sudah tiga puluh lamaran ia kirimkan ke tempat-tempat yang teriklankan di Koran Kedaulatan Rakyat membuka lowongan. Namun tidak satu pun panggilan ia dapatkan, apalagi pekerjaan.
Sementara ini, untuk memenuhi kebutuhan harian, ia berjualan buku-buku, majalah dan kaset-kaset islami di depan masjid Kampus UGM. Ia tidak bisa menggelar dagangannya setiap waktu. Sebab harus berbagi dengan jam kuliah. Boleh dikata ia punya kesempatan serius menjajakan dagangannya hanya pada hari Jumat. Ketika kuliah libur. Keuntungannya menjual buku tak seberapa.
Ketika bis sampai Kaliurang ia turun. Seperti biasa ia langkahkan kakinya menuju masjid Al
Fitrah. Ia ingin melepas penat, sambil menunggu Ashar tiba. Ia masuk masjid. Terasa teduh. Masjid-masjid di jogja selalu meneduhkan. Ia pilih sebuah tiang. Duduk, dan menyandarkan punggungnya, ke tiang. Tas hitamnya ia lepas. Ia letakkan di samping kanan. Kedua kakinya ia selonjorkan. Perlahan matanya memejam, namun pikirannya tetap melayang-layang. Dari mana ia akan dapatkan uang. Dari mana ia akan bayar kos. Ya Allah, mohon berikan aku jalan.


Adzan Ashar berkumandang. Ia bangkit. Harus segera turun sebelum orang mulai banyak. Ia harus buang air kecil dan ambil wudlu. Ia turun menuju kamar kecil. Benar, orang mulai banyak. Belasan kamar kecil tertutup. Untung masih ada satu yang terbuka. Kosong. Ia masuk. Ia tutup pintunya. Di pintu ia temukan tas hitam kumal tergantung.
“Ada yang lupa membawa barangnya.” Gumamnya.
Di mana-mana, di muka bumi ini, barang tertinggal di kamar kecil sudah jamak dan biasa. Di kamar kecil masjid Annur Kalasan ia pernah menemukan kaca mata tertinggal. Di kamar kecil masjid Darussalam ia pernah menemukan bungkusan plastik hitam. Ternyata isinya dua kilo ikan tuna. Dan pemiliknya ternyata seorang mahasiswa dari Babakan yang baru saja belanja di ABC Swalayan. Entah kenapa ia sering menemukan barang-barang yang tertinggal di kamar kecil.
Ia ambil tas itu, lalu keluar dan berteriak ke arah orang-orang yang sedang berwudlu, “Ada yang merasa memiliki tas ini!”
Tak ada yang menjawab.
Sekali lagi ia berteriak, “Perhatian! Maaf, ada yang merasa memiliki tas ini. Aku temukan tergantung di kamar kecil nomor tiga belas.”
“Pemiliknya mungkin sudah naik ke atas.” Sahut seseorang.
“Serahkan saja pada pengurus masjid. Siapa tahu nanti pemiliknya mencari!” Sahut yang lain.
“ Ya, serahkan saja pada pengurus masjid, biar nanti setelah sholat diumumkan.”
“Baik.”
Ia langsung bergegas ke tempat pengurus masjid. Menyerahkan tas itu dan ihwal penemuannya. Pengurus masjid yang berjenggot lebat itu tersenyum ramah dan berkata,
“Bukankah kau yang biasa berjulan buku di depan masjid kampus?”
“Benar paman.”
“Siapa namamu?”
“Adit. Lengkapnya Aditya Nugroho Terpuji.”
“Apa yang kau lakukan sangat tepuji. Sesuai dengan namamu. Tidak semua orang yang menemukan tas berusaha disampaikan yang berhak dan yang berwenag mengurusinya. Aku bangga padamu. Semoga Allah memberkahi perbuatanmu, Anakku. Kau telah menunaikan amanah, dan insya Allah akan kami tunaikan amanah ini!”
Ia kembali turun untuk memenuhi hajatnya yang tertunda.

* * *
Usai sholat, pengurus masjid Al Fitrah mengumumkan perihal ditemukannya tas hitam. Jika ada yang merasa memilikinya harap menemui imam masjid.
Ia lega mendengar pengumuman itu. Berharap apa yang dilakukannya berpahala. Apapun isi
tas itu, pasti yang punya merasa akan bahagia mendapatkannya kembali. Seperti saat ia lupa buku diktatnya tertinggal di masjid kampus. Ia benar-benar lupa saat itu. Sebelum sholat ia letakkan buku diktatnya di antara lemari tempat penyimpanan mushaf. Usai sholat ia langsung cabut pulang. Malamnya saat hendak membaca ulang tidak ia dapati bukunya. Barulah ia ingat, bukunya tertinggal di masjid. Ia sangat sedih. Buku itu sangat berharga baginya. Bagi sementara orang harganya mungkin murah. Tak seberapa. Tapi bagi dirinya yang serba kekurangan, buku itu sangat mahal. Sangat berharga. Pagi harinya ia bersegera ke kampus langsung ke masjid. Dan tidak ia temui bukunya di atas lemari. Ia sempat meneteskan airmata.

“Oh siapakah yang mengambil bukuku? Untuk apa?”
Ia coba beranikan bertanya pada seorang mahasiswa yang biasa menjaga masjid. Mahasiswa itu tersenyum dan berkata “Mari ikut saya!”
Mahasiswa itu mengajaknya masuk ke ruang pengurus. Lalu mengambil sesuatu di rak. Sebuah buku.
“Inikah bukumu itu?”
“Benar.” Jawabnya dengan penuh suka cita.
“Ambilah, Saudaraku. Apapun yang berada di rumah Allah ini insya Allah aman.”
Ia sangat bahagia saat itu. Benar-benar bahagia. Ia seperti terlepas dari kesulitan besar. Saat
ia memegang kembali bukunya ia merasa menjadi orang paling bahagia diatas muka bumi ini.
Ia berharap pemilik tas itu juga akan merasakan hal yang sama.

* * *
Hari berikutnya ia kembali kuliah. Dengan semangat. Dan seperti biasa mampir di masjid Kaliurang untuk sholat Ashar. Usai sholat, pengurus masjid mengumumkan bahwa kemarin ditemukan tas hitam itu tergantung di kamar kecil. Jika ada yang merasa memiliki boleh menghubungi imam. Ia mafhum bahwa pemilikinya belum mengembilnya. Namun ia sangat lega, dengan mendengar pengumum itu ia jadi sangat yakin bahwa orang-orang masjid sangat bisa dipercaya, sangat bisa diandalkan keamanahannya.
Usai sholat, ia bergegas ke kosnya untuk mengambil buku dan beberapa kaset yang menjadi pusat pemasukan bagi cash flownya. Ia ingin menggelar dagangan bukunya. Ba’da Maghrib ada pengajian Aa Gym. Biasanya jamaah membludak. Semoga di antaramereka ada yang berminat membeli buku dagangan nya, terutama buku-buku yang ditulis Aa Gym yang dikenal sangat merakyat dan dalam ilmunya.
Begitu sampai kos. Ia langsung mandi. Cepat sekali. Ganti pakaian. Pakai minyak wangi pemberian Ravik, teman karibnya satu kampus yang suka jual minyak. Dua kardus besar ia letakan di kedua bahunya. Sebuah tikar plastik ia selipkan antara kardus dan kepalanya. Terasa sangat berat. Tapi inilah hidup. Inilah jihad. Dan jika sudah terbiasa jadi terasa ringan-ringan saja. Ia turuni tangga. Sebab kamarnya ada di lantai tiga. Lalu berjalan melewati lorong-lorong sempit. Menyusuri trotoar. Melewati deretan gedung perkantoran. Sampai di depan Bank Muamalat ia turunkan kardusnya. Ia kelelahan.
Setelah cukup ia lanjutkan perjalanan. Menyeberang jalan. Sebuah sedan merah melaju kencang. Nyaris menyerempet kaki kanannya. Ia beristighfar sementara sopir sedan mengumpat- umpat tidak karuan. Empat menit kemudian ia sampai di tujuan. Trotoar depan masjid Kampus UGM. Ia turunkan pelan-pelan dua kardusnya. Ia gelar tikar. Lalu ia tata dan ia susun buku dagangannya sedemikian rupa. Demikian juga kaset-kaset dan majalah. Buku-buku Aa Gym ia susun semenarik mungkin di bagian paling depan. Sehingga tampak menonjol dan memikat hati yang melihatnya.
Senja mulai pekat. Langit memerah di sebelah barat. Lampu-lampu kota mulai menyala. Orang-orang mulai deras berdatangan. Hatinya riang. Sudah delapan buku yang terjual. Semuanya buku fatwanya Aa Gym. Keuntungan masing-masing buku tiga ribu. Sebelum Maghrib ia sudah dapat dua puluh empat ribu. Ia tersenyum.
“Alhamdulillah ya Rabb.” Pujinya pada Tuhan yang memberi rejeki.
Ia lalu berharap jika Aa Gym tiap hari memberi ceramah di masjid Kampus. Atau ada seratus ustadz seperti Aa Gym, dan semuanya menulis buku. Lalu semuanya memberikan ceramah di masjid Kampus, tempatnya menggelar dagangan. Jika tiap hari ia bisa untung dua puluh lima ribu saja, maka dalam satu

bulan ia akan punya masukan paling tidak tujuh ratus lima puluhan ribu. Dan itu sangat cukup untuk membayar kos, makan, ongkos bis, dan buku. Bahkan ia bisa menargetkan kapan menikah. Ah kenapa ia tiba-tiba berpikir menikah.
“Ya Kapten, lau samah, bikam syarith dzai?”1
Suara seorang perempuan membuyarkan lamunannya. Ia mengarahkan matanya ke asal suara. Hatinya bergetar sesaat. Di hadapannya seorang gadis berparas elok berjilbab putih berjongkok sambil memegang sebuah kaset. Ya, kaset ceramah Aa Gym berjudul: Al Mar’ah Ash-Shalihah. Satu detik matanya beradu dengan mata gadis itu. Ia menangkapkecantikannya. Mata yang bundar dan bening. Muka yang bersih dengan tahi lalat di dagu kirinya. Ia segera menahan matanya, mengalihkannya ke kaset yang di pegang gadis itu.
“E… sab’ah junaihat.”2
“Ghali awi!”3
“La ya anisah, hadza jaded.”4
“Arba’ah mumkin?”5 Gadis itu menawar.
“Musy mumkin, afwan.”6
“Khamsah la azid.”7
“Masyi.”8
Gadis itu mengambil kaset dan memasukannya ke dalam tas, lantas mengeluarkan lima ribuan. Ia mengambil uang yang disodorkan gadis itu seraya mengucapkan, “Terima kasih, Nona.”
Setelah gadis itu berlalu ia raba hatinya. Masih ada getaran. Ia jadi berpikir, kenapa ia baru mengangankan nikah, tiba-tiba langsung ada gadis di hadapannya. Gadis yang membuat hatinya bergetar. Apakah ini tanda-tanda.
“Ah, astaghfirullah, aku tak mau dijebak setan!” cepat-cepat ia menolak pikirannya. Bukankah sudah tidak terhitung gadis berjilbab yang membeli dagangannya? Di antara mereka bahkan banyak yang lebih cantik dari gadis tadi. Kenapa tiba-tiba ia harus bergetar, harus merasa sesuatu yang lain?
Saat Maghrib tiba masjid telah penuh. Ia merasa tidak perlu masuk masjid. Cukup menggelar koran dan ikut sholat jamaah di samping dagangannya. Usai sholat Aa Gym memberikan ceramahnya. Berkali-kali tasbih dan kalimat tauhid terdengar gemuruh dari para pendengar. Di tengah-tengah asyiknya mendengarkan ceramah. Sambil sesekali melayani pembeli tiba-tiba seorang lelaki berjenggot bermuka ramah mendatanginya. Lelaki itu tak lain adalah salah satu pengurus masjid Al Fitrah.
“Apa kabarmu Nak? Laris?”
“Alhamdulillah, saya baik. Rejeki hari ini juga baik.”
“Syukur kalau begitu. E, begini Nak….”
“Ya, Paman. Ada apa?”
“Ada yang punya perlu denganmu. Jika kau tidak keberatan. Habis sholat Isya datanglah ke kantor pengurs masjid.”
“Perlu apa ya kira-kira, Paman?”
“Insya Allah baik untukmu. Bisa?”
“Insya Allah, Paman.”

* * *
Aa Gym memberikan siraman penyejuk jiwa sampai Isya. Beliau juga mengimami sholat Isya. Acara ceramah beliau disiarkan langsung ke seluruh penjuru INdonesia oleh sebuah stasiun televisi. Usai sholat, Adit sibuk dengan para pembeli bukunya. Semua bukutulisan Aa Gym ludes. Kaset ceramah beliau tersisa
tiga. Buku-buku yang lain juga banyak dibeli. Ketika masjid mulai sepi, ia mengemasi dagangannya.
“Ini sungguh hari yang penuh keberuntungan.” Katanya pada diri sendiri. Separo bukunya terjual. Ia menaksir keuntungannya hari itu kira-kira seratus empat puluh ribu.
“Lumayan, bisa untuk menyelamatkan muka. Bisa untuk membayar kos dua bulan.” Gumamnya pada diri sendiri.
Setelah mengikat kardusnya ia melangkah ke masjid. Ia bawa barang dagangannya ke masjid Al Fitrah. Ia letakkan di balik pintu masuk, lalu menuju salah satu ruang yang digunakan sebagai kantor para pengurus. Di sana ada beberapa orang yang berkumpul. Ia mengetuk pintu memberi salam. Yang ada di situ serentak menjawab salam. Sekilas ia kitarkan pandangan. Tak ada Pak Saptono sang Imam masjid. Mungkin telah diantar pulang.
“Nak Adit, silakan duduk.” Lelaki berjenggot bermuka ramah mempersilakan duduk.
“Terima kasih.” Jawabnya. Ia lalu duduk di kursi yang masih kosong.
“Diakah pemuda itu?” Seorang lelaki setengah baya berwajah bersih tiba-tiba berkata sambil memandang kearah Adit.
“Benar, dialah orangnya.” Jawab lelaki berjenggot bermuka ramah. Adit yang merasa dirinya jadi obyek pembicaraan spontan bertanya,
“Kalian membicarakan aku?”
“Iya Nak Adit. Seperti yang saya sampaikan ba’da sholat Maghrib tadi. Ada orang yang perlu denganmu. Ceritanya begini, bapak ini adalah Pak Supriyanto. Beliaulah pemilik tas hitam yang kautemukan. Beliau ingin berterima kasih padamu.” Lelaki berjenggot bermuka ramah menjelaskan.
“Benar Nak Adit. Saya sangat berterima kasih padamu. Sebagai rasa terima kasih, saya ingin memberikan sesuatu padamu. Nilainya mungkin tidak seberapa tapi semoga menjadi tanda syukur. Karena siapa yang tidak berterima kasih pada manusia dia tidak berterima kasih kepada Allah.” Kata lelaki setengah baya berwajah bersih bernama Supriyanto itu.
Adit belum sempat mengucapkan sepatah kata, namun Pak Supriyanto telah berdiri dan mengulurkan amplop kepadanya. Dengan spontan Adit menolaknya seraya berkata,
“Sebentar Pak Supriyanto. Kemarin itu saya hanya menunaikan amanah karena Allah. Itu saja.
Itu sudah menjadi kewajiban saya sebagai seorang muslim. Jadi, rasanya tidak semestinya saya menerima yang berlebih. Tidak perlu berterima kasih atas sebuah kewajiban. Bersyukurlah pada Allah.”
“Iya. Kau benar. Tapi tolong terimalah tanda terima kasih saya padamu Nak. Terima kasih saya atas amanah yang kautunaikan.” Desak Pak Supriyanto.
“Maaf, janganlah Bapak memaksa saya untuk menerima sesuatu sebagai imbalan kewajiban yang harus saya tunaikan.Tolong, saya hanya melakukan karena Allah. Tolong. Saya sampaikan empati saya atas sikap Bapak yang hendak berterima kasih pada saya. Saya terima ungkapan terima kasihnya. Tapi tidak untuk sesuatu yang hendak Bapak berikan pada saya. Sekali lagi jangan paksa saya!”
Pak Supriyanto memandang kepada lelaki pengurus masjid yang hanya dengan diam saja sejak
tadi. Sang pengurus mengisyaratkan dengan gelengan kepala dan telapak tangannya agar dia jangan memaksa.
“Baiklah aku tak bisa memaksa. Tapi apakah kau tahu isi tas hitam itu?” kata Pak Supriyanto. Adit menggelengkan kepala seraya berkata, “saya sama sekali tidak membukanya.”
“Aku percaya kamu tidak membukanya karena isinya masih utuh semua. Untung kamu tidak membukanya, kalau kamu membukanya setan mungkin akan memperdaya kamu agar kamu

tidak menunaikan amanah dengan sebenar-benarnya. Lihatlah Nak Adit, ini isinya.”
Pak Supriyanto lalu mengeluarkan isi tas hitam. Pertama-tama koran bekas yang telah lecek. Bungkusan plastik hitam. Sebuah kantong kain berwarna hijau tua. Buku agenda. Dan sebuah pena hitam yang ujungnya kuning keemasan.
“Kelihatannya tak ada yang istimewa kan? Tapi ini adalah setengah perjalanan hidupku.” Kata Pak Supriyanto. Dia lalu mengambil bungkusan plastik hitam dan mengeluarkan isinya. Dua bundel dollar Amerika.
“Jumlahnya tiga puluh ribu dollar. Atau sekitar 300 juta rupiah” Kata Pak Supriyanto. Ia lalu meraih kantong hijau tua dan mengeluarkan isinya : seuntai kalung emas permata dengan bandul permata mulia berwarna merah tua yang sangat indah.
“Ini nilainya tiga ratus ribu dollar. Baru saya beli dari Mirota untuk hadiah keberhasilan putrid pertamaku menghafalkan Al-Quran.”
Pak Supriyanto lalu beralih ke buku agendanya. Agendanya itu berkancing. Ia buka dan ia pegang selembar kertas seraya berkata dengan mata berkaca-kaca,
“Ini cek dari seorang kolega di Port Said. Nilainya tujuh ratus tujuh puluh lima ribu dollar. Inilah isi tas hitam lusuh ini Nak Adit, apakah aku tidak pantas memberikan sesuatu padamu sebagai ungkapan terima kasih.”
Semua yang hadir di ruangan itu diam dan takjub. Semua baru tahu isi sebenarnya tas hitam kumal itu. Pengurus masjid saat memeriksa tas itu hanya membuka agendanya. Mencatat keterangan yang ada di biodata di halaman depan. Yang tertulis hanya nama pemilik, tanggal lahir. Tidak ada alamat dan keterangan yang lainnya.
Mereka tidak sampai memeriksa beberapa berkas yang ada di agenda itu. Juga tidak memeriksa isi kantung hijau tua dan bungkusan plastik. Begitu ada yang mengaku memiliki tas itu. Mereka mengujinya dengan menanyakan kartu identitas. Ketika nama dan data dalam kartu identitas sama dengan yang tertulis di dalam buku agenda dan bisa menyebutkan isi tas secara umum. Maka mereka percaya dialah pemiliknya. Dan memang sejak diumumkan tidak ada satu orang pun yang mengaku. Sampai datang Pak Supriyanto menanyakan kepada pengurus masjid perihal tas hitam kumalnya yang tertinggal saat buang air kecil.
“Allah yang mengatur semua. Alhamdulillah saya bisa mengamalkan ilmu dan menunaikan amanah. Saya ingin murni karena Allah. Jangan paksa saya,” Kata Adit lirih.
“Jadi kau benar-benar tidak ingin menerima amplop ini?”
“Jangan paksa saya, saya mohon.”
“Aku sungguh bangga padamu Nak Adit. Baiklah aku tidak akan memaksa lagi. Namun aku tetap ingin mengungkap-kan rasa syukurku. Kepada yang hadir di ruangan ini saksikanlah aku sedekahkan cek senilai tujuh ratus tujuh puluh lima ribu dollar ini untuk anak yatim dan fakir miskin. Pengelolaannya saya serahkan pada pengurus masjid. Pahalanya semoga terlimpahkan pada semua orang beriman yang menunaikan amanah dengan benar.”
Kata-kata Pak Supriyanto membuat hati yang hadir di ruangan itu bergetar. Adit bersyukur dalam hati bahwa ia bisa mempertahankan prinsipnya. Di akhir pertemuan Pak Supriyanto membagikan kartu namanya. Saat bersalaman dengan Adit beliau mencium kening anak muda itu sebagai tanda cinta dan penghormatan.

* * *
Hari berikutnya Adit menceritakan apa yang dialaminya dengan Pak Supriyanto perihal tas hitam kumal itu pada sahabat karibnya Ravik. Dan Ravik menanggapinya dengan emosi,
“Emang kosmu sudah kau lunasi!?”

“Belum.” Jawab Adit.
“Kau sungguh bodoh! Sok suci! Sok ikhlas! Miskin tapi sok kaya! Apa sih beratnya menerima tanda terima kasih. Mungkin itu bisa jadi modal kamu usaha. Kamu itu sungguh manusia aneh. Bayar kos saja nunggak berbulan-bulan tapi sok malaikat. Sok tidak butuh uang. Dasar kolot, tolol, bahlul,
primitif! Sini berikan padaku kartu namanya biar aku cari Pak Supriyanto itu dan aku ambilkan bagianmu.”
Adit menggelengkan kepala.
“Kenapa tidak?!” Sengit Ravik
“Lelaki sejati tidak akan menjilat ludahnya!”
“Bah! Dasar prtimitif kolot! Jika kau masih mem-pertahankan kekolotan prinsip-prinsipmu
di era global seperti ini, kau tidak akan survive! Kau akan binasa terlindas realitas!”
“Allah bersama orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
Dengan muka kesal Ravik meninggalkan Adit sambil bergumam,
“Semoga kau dapat petunjuk wahai manusia lugu yang kolot!”

* * *
Bumi terus berputar. Matahari terus terbit di timur dan tenggelam di barat. Tak pernah berhenti. Hari berganti hari. Setelah tiga setengah tahun tahun kuliah Adit berhasil menyelesaikan kuliahnya di Fakultas dengan nilai 3,77 .Cumlaude. (Gak kayak pima yang 3,3 hehehe). Ia terpilih sebagai terbaik pertama di angkatannya. Selesai kuliah ia tidak pulang kampung, tapi mencoba bertahan di Jogja. Ia sangat ingin lanjut pascasarjana. Namun ia merasa perlu kemapanan ekonomi.
Suatu hari di awal musim hujan ia pergi ke kampus.ia kangen dengan kampus. Ia ingin menemui beberapa teman satu angkatannya yang belum lulus sambil refresing menyegarkan pikiran. Di pintu gerbang ia berpapasan dengan Pak D.J., Adit menyalaminya dengan penuh takzim.
“Adit, sudah dua minggu ini aku mencarimu. Nanti jam satu siang datanglah ke ruang kerjaku.”
Kata-kata Pak Djemakin itu sangat menyejukkan hatinya. Jika ia dicari-cari seorang guru besar yang sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya seperti beliau maka itu suatu keberkahan. Suatu tanda akan datangnya kebaikan-kebaikan.
“Insya Allah, Ustadz.” Jawabnya singkat.
Tepat jam satu kurang tiga menit ia masuk ruang kerja Pak Djemakin dengan terlebih dahulu mengucapkan salam.
“Wa’alaikumussalam. Duduklah Adit! Kau tepat waktu Adit. Aku senang.”
“Ada yang bisa saya bantu ustadz?”
“Begini Adit, aku mau bertanya padamu, mau tidak kamu mengamalkan ilmumu?”
“Tentu Ustadz. Bukankah ilmu harus diamalkan?”
“Mau tidak kamu berjuang dan berdakwah?”
“Tentu ustadz. Itu adalah kewajiban seorang muslim.”
“Rasanya aku tidak salah memanggil kamu. Begini, ada sebuah daerah di pelosok selatan
Purbalingga, daerah itu namanya Babakan yang sangat membutuhkan seorang yang mengerti tentang kesehatan masyarakat tapi juga mumpuni dalam bidang agama ini. Maukah kamu diutus ke sana. Sebagai utusan resmi UGM. Semua biaya UGM yang menanggung. Kau juga akan dapat gaji. Kau tidak selamanya di sana. Hanya dua tahun. Setelah itu kau akan aku usahakan dapat beasiswa untuk lanjut S2. bagaimana?”
Mendengar penjelasan Pak Djemakin, hati Adit gerimis.

“Saya bulatkan tekad diri saya untuk amanah ini, ustadz. Untuk ilmu kesehatan masyarakat yang pernah saya dapatkan, saya siap ditempatkan dan diutus di mana saja.”
“Aku bangga mendengarnya, Anakku. Bersiap-siaplah. Surat-suratnya akan aku urus. Minggu depan kamu berangkat, insya Allah. Dan ingat kamu berangkat ke daerah terpencil yang tidak ringan.”
“Mohon doanya, ustadz.”
“Hayyakallah ya Bunayya.”9
“Amin.”

* * *
Minggu berikutnya, setelah menempuh perjalanan panjang dari Jogja ke Jakarta dengan kereta dan disambung dengan angkot ke Purbalingga kemudian naik delman istimewa dan Adit duduk di muka menemani Pak Kusir yang sedang bekerja sampailah Adit ke sebuah desa. Turun dari delman ia
masih harus berjalan kaki alias ngesot setengah kilo untuk mencapai perkampungan di mana dia ditugaskan. Begitu sampai ia langsung mencari rumah kepala desa.
Seorang petani memberi petunjuk,
“Datangilah rumah yang bercat hijau. Di halamannya ada seekor keledai sedang ditambat. Dari sini kira-kira seratus meter. Setelah kebun singkong.”
Ia bergegas ke sana. Dengan mudah ia temukan rumah itu. Ia ketuk pintu. Seorang lelaki tua, berumur tujuh puluhan keluar. Ia berbincang dengannya penuh takzim, menjelaskan kedatangannya dan menyerahkan surat tugas. Lelaki tua itu mempersilakan masuk rumahnya, menyambutnya dengan penuh
suka cita, “Alhamdulillah surat permohonan saya ke bagian kesehatan masyarakat UGM akhirnya dikabulkan. Saya sangat bahagia. Saya berharap kau betah di desa ini dan bisa jadi penerang di desa kami.”
“Kalau boleh tahu siapa nama Bapak?”
“Ah, sebenarnya saya merasa tidak pantas menjadi Kepala Desa. Kemampuan dalam mengayomi masyarakat saya masih belum benar. Karena tidak ada yang lain jadi terpaksa saya menjadi Kepala Desa. Nama saya Joni. Nanti ba’da sholat Maghrib kau akan kukenalkan pada warga kampong di masjid. Setelah itu kau akan kuajak berkunjung ke rumah para pemuka masyarakat desa dan pengurus masalah keagamaan di kampung ini. Mereka semua pasti akan senang dengan keberadaanmu di sini.”
“Semoga Allah memudahkan semuanya.”
Sejak hari itu mulailah perjuangan Adit benar-benar merasakan beban yang tidak ringan. Masyarakat di desa itu masih ada yang memiliki hobi yang sangat aneh, yaitu gak mandi dan mereka sangat menerima ajakan untuk tidak mandi. Di samping mengobati penyakit psikis seperti itu, ia juga dibebani untuk mengenalkan agama kepada masyarakat kampung Babakan yang terpencil itu. Ia masih menemukan warga kampung tersebut yang buta huruf. Masih ada yang belum bisa baca Al-Quran. Masih banyak yang belum mengerti ajaran Islam dengan benar. Selama ada di desa itu, ia diangkat menjadi imam menggantikan Pak Joni yang menjadi imam sementara. Ia menjadi rujukan, tempat bertanya masalah pendidikan, kesehatan, agama dan lain sebagainya. Bahkan masalah sosial. Masyarakat begitu percaya padanya sebagai lulusan UGM. Anak-anak juga sangat lekat padanya. Mereka
antusias belajar Al-Quran padanya. Seringkali Adit membuat acara yang sangat mengasyikan bagi mereka. Kematangannya ketika aktif di organisasi sebelum masuk kuliah sangat berharga.
Genap satu tahun, Adit seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat desa itu. Klinik kesehatan bagi masyarakat dan pengajian umum yang ia buka di masjid setiap hari Jumat pagi dihadiri oleh ribuan orang. Tidak hanya masyarakat desa itu namun juga desa-desa sekitarnya.
Namun lazimnya sebuah dakwah, tidaklah mulus begitu saja. Sudah beberapa kali nyawanya terancam oleh mereka yang merasa keberadaan Adit sangat membahayakan mereka. Mereka sebuah mafia kecil yang secara diam-diam menanam ganja di tengah-tengah kebun mereka. Mereka adalah bagian dari jaringan
pengaedar narkotika di kawasan Purbalingga Lor. Ulah mereka belum terendus pihak kepolisian. Kehadiran Adit yang berpendidikan dianggap sangat membahayakan. Beberapa kali Adit hendak dilenyahkan namun gagal.
Mafia kecil itu terus mencari cara membinasakan imam muda ini. Akhirnya mereka sepakat untuk menghabisi Adit dengan rekayasa dan fitnah.
“Begini, agaknya imam muda ini banyak disukai anak-anak gadis. Kita manfaatkan hal ini untuk membinasakannya. Kita pernah dengar dulu di Bani Israel ada seorang ahli ibadah yang namanya Barshisha. Dan ia hancur karena perempuan. Bagaimana kalau kita gunakan cara setan itu untuk membinasa-kan imam muda ini.” Seorang anggota mafia berambut keriting mengajukan usul.
“Boleh. Riilnya bagaimana?” Ketua mafia menyahut.
“Begini Bos,” Kata lelaki berambut keriting, “Saya telah amati kegiatan imam muda itu dua minggu penuh. Juga saya bertanya banyak hal tentangnya ke para penduduk. Imam muda itu punya pengajian rutin di masjid tiap hari malam Ahad. Tempatnya di masjid selatan desa. Dia pulang dan pergi tidak pernah sendirian. Jadi kalau kita gunakan kekerasan justru berbahaya.”
“Terus gimana membinasakan dia?” Sahut sang ketua tidak sabar.
“Begini Bos, kita fitnah dia. Penduduk desa ini paling anti dan paling murka terhadap orang yang mengotori anak gadisnya. Saya dapat informasi ada seorang anak gadis yang sangat suka apa saja asal dapat imam muda ini, namanya Sadia. Setahu saya, imam muda ini sampai di rumahnya dari pengajian jam setengah dua belas malam. Kita akan manfaatkan Sadia. Kita seolah membantu Sadia, namun Sadia harus ikut skenario kita. Dan harus menjaga rahasia. Begitu Bos.”
“Lha terus riil memanfaatkan Sadia itu gimana, Keriting?”
“Begini Bos, saat si imam muda itu pergi mengaji, diam-diam dengan cara yang tidak diketahui orang, kita datangi rumah imam itu lewat belakang. Kita ajak Sadia ikut serta. Kita congkel pintu belakang, kita minta Sadia masuk dalam rumah imam itu. Sadia harus bersembunyi. Ketika imam itu nanti pulang dan tidur pulas. Sadia harus tidur di samping imam itu. Satu ranjang kalau perlu dengan pakaian yang tampak acak-acakan. Saat itulah kita grebek, kita kerahkan orang kampung. Pada saat kita grebek Sadia harus memeluk imam muda itu kuat- kuat, menangis dan menjerit-jerit. Dengan demikian hancurlah imam muda itu. Ia akan dilempari batu seperti anjing kurap oleh seluruh penduduk kampung. Akan diusir.” Sang ketua manggut-manggut mengerti.
“Apa Sadia mau?” tanya bos mafia
“Pasti mau bos. Dia sudah masuk perangkap kita. Sekarang dia sudah ikut pakai ganja sebab kakaknya juga bagian dari kelompok kita.”
“Bagus. Segera jalankan rencanamu dengan matang. Ajak dan provokasi para pemuda yang
tidak suka dengan imam sok suci itu!”

* * *
Sore itu Adit asyik membuat acara permainan dengan anak-anak di sebuah kebun korma. Tiba-tiba seorang anak berteriak,
“Imam… imam itu ada ular!”
Adit langsung melihat ke arah yang ditunjuk si anak. Ya ada seekor ular cobra yang sangat berbahaya. Ia minta anak-anak menyingkir. Di PMR yang ia ketuai dulu, ia pernah belajar mengatasi ular. Sepuluh menit kemudian Adit telah berhasil meringkus ular itu dengan kain yang ia gunakan untuk tikar.

“Jangan takut ini ularnya sudah tertangkap.” Anak-anak gembira.
“Imam memang hebat. Di sini belum pernah ada seorang pun yang berani menangkap ular cobra. Kepala desa yang dulu meninggal katanya karena dipatuk ular cobra.” Kata anak yang tadi berteriak.
Sore itu kabar imam muda menangkap ular cobra langsung tersiar ke seluruh penjuru desa. Seorang petani separo baya mendatangi Adit dan menasihati,
“Imam, jangan main-main dengan cobra. Lebih baik langsung di bunuh saja!”
“Saya tidak main-main kok, Paman. Ular ini sengaja tidak saya bunuh sebab besok pagi saya ingin membawanya ke dokter untuk diambil serumnya. Serum itu bisa jadi obat jika kelak ada penduduk desa ini digigit ular berbisa ini. Jangan kuatir, Paman.”
Setelah faham petani itu tersenyum dan minta diri. Adit memasukkan ular itu ke dalam kantong goni lalu mengikatnya dan meletakannya di ruang belakang rumahnya.
Setelah Maghrib, Adit membaca materi yang akan dia sampaikan untuk pengajian rutin. Ba’da Isya ia berangkat ke masjid selatan desa untuk menyampaikan pengajian. Sementara kelompok mafia mulai menjalankan rencananya. Sebagian mereka sudah mampu menyebar fitnah dan meyakinkan
sebagian penduduk desa bahwa si imam muda itu tak lain adalah seekor serigala busuk. Imam muda itu telah mengotori desa dan menodai kesucian gadis desa, di antara korban yang sedang dalam cengkeramannya adalah Sadia.
Sebagian yang lain ada yang menyebar desas-desus ke kalangan ibu-ibu. Mereka minta ibu- ibu melihat apa yang akan terjadi malam nanti. Malam nanti akan ketahuan siapa sebenarnya imam muda yang selama ini dipuji-puji itu.
Di sebuah rumah, Sadia telah siap dengan segala fitnahnya.
“Suratku tak pernah ditanggapinya. Malam ini imam sok suci itu akan tahu siapa Sadia. Dia akan tunduk di telapak kakiku.” Gumamnya.
Tepat pukul sepuluh Sadia dan lelaki berambut keriting berhasil masuk rumah Adit lewat pintu belakang. Sadia berpakaian setengah telanjang. Ia benar-benar sudah kehilangan rasa malunya. Di luar rumah ketua mafia bersiaga penuh dengan beberapa anak buahnya. Beberapa anak buah yang lain bertugas membawa para pemuda pada saat yang tepat.
Tepat pukul sebelas Adit pulang diantar oleh seorang pemuda. Setelah pemuda itu pamit, Adit masuk rumah. Ia tidak masuk ke kamarnya tapi duduk di ruang tamu. Ia belum mengantuk. Ia ingin membaca Al Quran terlebih dahulu.
Satu jam kemudian, terdengar teriakan yang sangat gaduh di luar rumahnya. Teriakan itu mencaci-maki dirinya. Pintu rumahnya digedor dengan sangat keras.
“Ayo seret imam pezina itu!”
“Telanjangi Adit serigala itu! Arak dia biar jadi pelajaran!”
Belum sempat ia beranjak dari tempat duduknya, pintu itu telah terbuka. Didobrak. Adit berdiri kaget. Kitab Al Quran masih ditangannya. Orang-orang masuk dengan marah. Yang paling depan adalah ketua mafia. Mata Adit beradu dengan matanya. Ketua mafia agak gentar, tidak seperti yang direncanakan. Tidak ada suara merengek atau tangis Sadia. Ke mana Sadia? Namun ia tidak kehabisan akal. Ia langsung menggertak.
“Di mana Sadia kausembunyikan, Bangsat!” Adit tidak gentar,
“Siapa Sadia?”
“Jangan sok tidak tahu. Sadia yang kauzinai setiap malam!”
Adit kaget, “Apa zina? Aku mezinai Sadia? Astagh-firullah. Na’udzubillah. Jangan sembarangan kau
bicara! Menuduh zina adalah kriminal!” Kata Adit membela diri.
Jangan banyak bacot. Langsung seret saja pemuda ini. Sadia adalah korbannya ia telah menodai gadis lugu itu. Ayo seret dia!”
Para pemuda yang emosi langsung bergerak memegang tangan Adit. Adit melawan dengan menampar mereka. Terjadi pergulatan. Tiba-tiba terdengar teriakan keras, “Berhenti! Ada apa ini?”
Ternyata suara kepala desa. Di belakangnya ada beberapa orang polisi. Rupanya kepala desa mencium gerakan para pemuda. Ia ingin menegakan hukum, siapa pun yang salah harus diadili sesuai hukum, makanya ia mengundang polisi. Sebelum Adit angkat bicara, ketua mafia angkat bicara dan meluncurkan tuduhan dan fitnahnya. Panjang lebar, dan dengan suara sangat meyakinkan,
“Beberapa kali aku melihat dia dan Sadia berbuat mesum!”
Adit emosi, “Dia bohong! Dia memfitnah! Ini fitnah! Hadzihi fitnah! Hadzihi fitnah!”
“Aku bahkan pernah melihat tengah malam Sadia menutup jendela kamar rumah ini, dalam keadaan telanjang dada dan di belakangnya si jahannam ini mendekapnya mesra!” cerocos ketua mafia.
“Sudah diam kamu Bandot! Tuduhan kamu harus kamu buktikan!” Bentak kepala desa.
“Akan aku buktikan! Aku yakin Sadia sedang terlelap di salah satu ruangan di rumah ini setelah dibius srigala ini! Ayo kita geledah!” Sahut ketua mafia mantap.
Ia bergerak. Beberapa orang bergerak. Pak kepala desa, dua polisi dan Adit mengikuti. Adit hanya pasrah kepada Allah. Kamar pertama digeledah, tak ada apa-apa. Kamar kedua juga. Kamar ketiga, yang tak lain kamar tidur Adit digeledah. Dengan sangat teliti. Almari dibuka. Kolong ranjang diteliti tak ada apa-apa. Wajah ketua mafia merah. Ia marah. Dalam hati ia mendesis, “Di mana kau Sadia? Kurang ajar kamu! Kamu telah mempermainkanku. Awas aku cincang kamu!”
Ketua mafia itu lalu mengajak menggeledah ke ruang belakang yang tak lain adalah dapur dan kamar mandi. Ruang belakang itu gelap. Beberapa orang menyorotkan senternya. Sinar senter itu menerangi ruangan. Di atas lantai orang-orang terkesima dengan pemandangan yang mereka lihat. Dua orang anak manusia lain jenis diam tak bergerak dalam posisi yang sangat memalukan. Tubuh keduanya telanjang.
“Itu Sadia!” teriak seorang pemuda.
“Lha itu yang menidihnya siapa?” Tanya seseorang. Kepala mafia pucat.
“Itu si kerempeng. Anak bejat dari kampung utara!” Polisi melihat keduanya.
“Inna lillahi wa inna ilahi raaji’un”
Keduanya sudah tidak bernyawa. Ada gigitan ular di kaki kedua manusia jalang ini. Kata polisi itu.
Kepala desa langsung berkata pada ketua mafia, dan ia tidak tahu kalau yang ia ajak bicara adalah seorang ketua pengedar narkotika,
“Hai Bandot, berarti kau salah lihat. Yang berbuat mesum bersama sadia itu bukan Adit. Tapi si pemuda keriting ini. Saya tahu persis siapa Adit. Sejak dia datang sampai sekarang saya tahu persis akhlaknya. Memang rumah ini sering ditinggalkannya kalau malam untuk mengisi pengajian. Jadi sering kosong. Kelihatannya itu dimanfaatkan dua manusia itu. Karena mereka merasa aman melakukannya di sini. Tapi Allah tidak ingin membiarkan hal ini berlanjut terus.”
“Ya aku bersaksi Adit bersih dari tuduhan keji itu. Kenyataan di depan mata kita telah

membuktikannya. Memang sejak satu minggu ini ada yang menyebar desas-desus tidak sedap tentang imam muda kita. Dan malam ini semuanya jelas.” Sahut seorang ibu-ibu yang ikut menyaksikan kejadian itu.
Dalam hati Adit bersyukur telah selamat dari fitnah. Ia merasa ada makar yang ingin mencelakainya di balik kejadian menggegerkan desa malam ini, dan Allahlah yang menggagalkan.
Penduduk desa, juga Adit tak ada yang tahu, apa yang dilakukan Sadia dan Pemuda Keriting setelah masuk rumah Adit. Setan telah membakar nafsu mereka berdua di tempat gelap itu karena pengaruh ganja yang mereka hisap. Tangan pemuda itu tidak sadar membuka ikatan karung goni yang berisi ular saat sedang berasyik masyuk. Saat jantung berdegup kencang. Tanpa mereka sadari ular itu memaruk kaki mereka. Jantung terus berdegup. Racun mematikan pun menyebar dengan cepat. Dan tamatlah riwayat mereka berdua. Makar yang mereka buat membinasakan mereka sendiri.

* * *
Peristiwa malam itu berbuntut panjang. Kakak Sadia yang juga anggota mafia kecil itu tidak bisa terima atas kematian adiknya. Ia tahu persis adiknya adalah korban dari makar busuk ketua mafia.
Diam-diam ia mendatangi kantor polisi dan membocorkan rahasia yang selama ini ia pendam. Ia juga mendatangi kepala desa, dan membocorkan semua yang ia tahu, termasuk makar fitnah untuk membinasakan sang imam muda, Adit, pada malam itu.
Polisi bergerak cepat. Seluruh anggota mafia di desa itu dan desa-desa sekitarnya di tangkap. Bahkan jaringan yang lebih besar di Purbalingga Lor segera digulung. Kepala desa mengum-pulkan warganya dan menjelaskan lebih detil tentang makar fitnah itu. Penduduk desa semakin mencintai Adit.
Tak terasa sudah sembilan belas bulan Adit menjadi ladang bertanya, dokter bagi kesehatan masyarakat dan juga imam yang berdakwah di desa itu. Sudah cukup banyak perubahan. Anak-anak sudah fasih baca Al Quran. Para orang tua sudah memahami isi aqidah Thahawiyyah, Fiqh Sunnah, dan inti risalah Islam. Sebuah balai serba guna didirikan di samping masjid.
Tiga bulan lagi tugasnya usai. Ia ingin kembali ke Yogyakarta dan melanjutkan S2. Ia hendak menyampaikan hal itu pada kepala desa, agar tidak mengejutkan kepergiannya. Usai sholat Maghrib ia membicarakn hal itu pada kepala desa dan beberapa pengurus masjid, termasuk Pak Joni yang sangat dihormati. Apa yang ia sampaikan ditanggapi dengan keharuan dan tetesan airmata. Kepala desa berkata dengan mata berkaca,
“Kami sangat mencintaimu Nak Adit. Kami sebenarnya ingin Nak Adit tinggal di sini. Atau lebih lama di sini. Namun semua kembali pada Nak Adit. Kami tidak bisa dan tidak berhak memaksa. Namun ada satu permintaan kami yang kami sangat berharap Nak Adit tidak menolaknya.”
“Apa itu?” Tanya Adit.
“Bicaralah Paman Joni.”
“Begini Nak Adit. Saya punya cucu. Satu-satunya. Tidak cucu langsung, tapi cucu kakak saya yang telah meninggal karena kecelakaan, setengah tahun sebelum kau datang kemari. Akulah satu-satunya keluarganya. Aku sudah tua. Sejak kecil ia hidup di desa ini. Sejak kecil. Meski ayah-ibunya tinggal di kota Padamara, ia tinggal di sini. Bersama kami. Karena ia memang dilahirkan di sini. Setiap dibawa ke Padamara ia sakit. Tapi jika dibawa ke sini ia sembuh.
“Boleh dikata cucu saya itu, menurut pengakuan orang-orang di desa ini adalah gadis tercantik dan
terpandai. Dialah satu-satunya gadis yang menghafal Al-Quran. Menghafal Al- Quran dengan kemauannya sendiri. Cucu saya ini juga bisa dikatakan orang paling kaya di desa ini. Selain mewarisi kekayaan ayahnya di Padamara, ia juga mewarisi kekayaan kakeknya, yaitu kakak saya. Tanggung jawab saya adalah menikahkannya dengan pemuda yang saleh, bertakwa, berilmu dan bertanggung jawab. Saya merasa kau sangat tepat. Saya berani menjamin ia gadis yang salehah. Sekarang sedang kuliah di UGM Jurusan Kesehatan Masyarakat, Yogyakarta, tahun kedua. Kalo Nak Adit dari Jurusan Kesehatan Masyarakat UGM, mungkin juga dia adalah adik kelas nak Adit. Ini permohonan saya. Dan saya berharap tidak kamu tolak. Saya akan sangat merasa aman jika dia dalam naungan lelaki saleh sepertimu.”
Perkataan Pak Joni membuatnya kaget dan terkesima. Lidahnya susah digerakkan. Ia diam. Semua yang ada dalam pembicaraan itu diam. Suasana hening sesaat. Akhirnya ia berhasil menggerakan lidah dan bibirnya,
“Sa… saya akan istikharah dulu.”

* * *
Tiga kali ia istikharah. Setiap kali istikharah ia tidur. Dan dalam tidur selalu bermimpi membaca Al Quran surat Ar Ruum ayat 21. Ia sangat yakin, itu ilham agar ia segera menikah. Akhirnya ia menyampaikan jawaban ‘menerima tawaran itu’ pada Pak Joni. Jawaban Adit menerbitkan airmata haru lelaki itu.
Minggu berikutnya diadakan acara ta’aruf antara Adit dan cucu Pak Joni itu. Acara dihadiri kepala desa. Adit hanya bisa menunduk dengan hati dan jantung berdebar-debar. Darah mudanya meluap. Ia penasaran. Seperti apa rupa gadis yang katanya paling pilihan di desa ini.
Sesampainya di rumah Pak Joni, istri Pak Joni mengeluarkan minuman dan makanan. Gadis itu tidak ikut keluar. Ia ada di dalam. Setelah berbincang-bincang cukup lama. Pak Joni berkata,
“Ya Pima keluarlah!”
Tak lama kemudian seorang gadis berjilbab panjang putih bersih keluar. Ia duduk di samping istri Pak Adit.
“Nak Adit, ini Pima cucuku.” Kata Pak Joni.
Adit mengangkat muka ke arah wajah gadis itu. Si gadis juga melakukan hal yang sama.
Dan….
Subhanallah! Ia teringat peristiwa dua tahun yang lalu. Peristiwa di musim hujan, saat ia berjualan buku. Gadis ini bukankah? Ya, persis! Mata yang bundar dan bening. muka yang bersih dengan tahi lalat di dagu kirinya. Si gadis agaknya juga kaget. Cukup lama mereka berpandangan.
“Agak aneh. Apa kalian pernah saling kenal?” Pak Joni menangkap gelagat. Gadis itu diam. Adit mencoba mengingat kejadian itu. Ia bergumam,
“Masjid Al Fitrah, Kaliurang. Kaset Aa Gym berjudul : Al Mar’ah Ash-shalihah.” Gadis itu tiba-tiba menyambung lirih,
“Ya kapten, lau samah, bikam syarith dza? E….sab’ah junaihat!
Lu ya anisah, hadza jaded. Arba’ah mumkin?
Musyi mumkin, afwan. Khamsah la azid. Masyi.”
Adit terhenyak, gadis itu masih ingat dialog tawar menawar kaset itu dua tahun yang

lalu. Sebelum Adit bicara gadis itu menjelaskan dengan detail pertemuan dua tahun yang lalu. Pertemuan yang setelah itu tidak bertemu lagi kecuali saat ta’aruf itu.
Paman Joni dan semua yang hadir mafhum. Ia lalu membahas lebih dalam. Pima dan Adit sama-sama rida. Hari pernikahan pun ditentukan.

* * *

Musim hujan yang penuh barakah. Pagi yang indah. Langit yang cerah. Orang-orang menatap hari dengan penuh gairah. Begitu juga Pima dan Adit. Pagi hari Jumat itu berlangsung akad nikah di desa bersuka cita. Anak-anak mendendangkan lagu kebahagiaan dan cinta.
Rumah tua yang ditempati Adit ternyata adalah rumah tempat Pima dulu dilahirkan. Rumah itu telah direnovasi. Dicat kembali. Kamar pengantin dihias indah dan wangi.
Malam usai sholat Isya Adit masuk kamar. Sang isteri telah menanti. Kali ini tidak berjilbab. Adit terhenyak ketika melihat kalung permata yang dipakai Pima. Kalung emas permata dengan bandul permata mulia berwarna merah tua yang sangat indah. Ia memandangi kalung itu lama sekali.
Pima heran dan bertnya,
“Ada apa denganmu, Suamiku? Kenapa wajahmu pucat dan matamu berkaca-kacaa saat kau melihat kalung permata ini?”
Adit berkaca-kaca, dan berkata,
“Jika mataku tidak silap. Aku pernah melihat kalung mutiara ini dua tahun yang lalu. Pemiliknya mengatakan kalung ini dibeli dari Madrid untuk hadiah putri keduanya yang baru hafal Al-Quran.”
Mendengar hal itu Pima terisak. Ia teringat cerita ayahnya almarhum. Terbata- bata ia berkata,” Jadi kaukah yang menemukan tas hitam lusuh di kamar kecil masjid Al Fitrah itu? Kaukah yang menolak pemberian tanda terima kasih dari pemiliknya itu?”
Adit kaget, “Kau tahu peristiwa itu? Dari mana kau tahu peristiwa itu?”
“Kau ingat nama Supriyanto bin Mangunkusumo.”
“Ya. Itu pemilik tas itu?”
“Beliau adalah ayahku.”
“Ayahmu?”
“Ya.”
“Subhanallah. Ketika namamu disebut dalam akad nikah Pima binti Supriyanto bin Mangunkusumo. Aku tidak pernah berpikiran nama pemilik tas hitam lusuh itu. Sebab betapa banyak nama Supriyanto di Jogja ini.”
“Hari itu aku datang ke masjid Al Fitrah bersama ayah. Aku asyik melihat buku-buku. Ayah yang bertanya ke pengurus masjid. Ketika ayah bilang tasnya telah ditemukan masih utuh aku sangat bahagia. Sementara ayah menunggu di masjid ba’da sholat Isya, aku memilih langsung istirahat ke hotel. Setengah sepuluh ayah masuk hotel sambil menangis. Aku bertanya pada ayah ada apa. Ayah menjawab, ‘Yang menemukan tas ayah yang sangat berharga ini adalah seorang pemuda yang sangat menjaga keikhlasan dan sangat menjaga amanah. Aku akan merasa bahagia jika Allah berkenan menjodohkan dirimu dengannya.’ Suamiku, apakah kautahu apa yang kulakukan saat mendengar perkataan ayah itu?”
“Aku tak tahu? Apa yang kaulakukan?”
“Dalam hati aku mengaminkan. Dan aku berdoa kepada Allah, jika pemuda itu memang benar-benar saleh dan menjaga amanah semoga kelak ia benar-benar menjadi jodohku. Dan Allahu akbar! Allah mengabulkan doaku.

“Allahu akbar. Saat itu aku menolak amplop pemberian ayahmu. Dan ternyata Allah menyiapkan yang lebih berharga dari itu.”
“Ya. Aku dan segala yang kumiliki sekarang ada dalam kuasamu.”
“Aku merasa musim penghujan kali ini benar-benar penuh barakah.”
Pima mendekat dan meletakkan kepalanya dalam dada Adit. Sesaat, suasana haru dan indah memenuhi kamar pengantin. Kedua makhluk Allah itu larut dalam rasa syukur yang dalam dan panjang.


Keterangan :
1 Kapten, maaf, berapa harga kaset ini?
2 Tujuh ribu.
3 Mahal sekali.
4 Tidak nona, ini baru.
5 Empat, mungkin.
6 Tidak mungkin, afwan.
7 Lima (ribu), tak akan aku tambah.
8 Okay.
9 Semoga Allah selalu menjagamu, memberimu keberhasilan hidup wahai anakku.

Tidak ada komentar: