Minggu, 19 April 2009

PERCAYA SAMA RAMALAN BINTANG?

“Percaya sama ramalan bintang?? Uh, gak banget, deh!”
Pima memang paling tidak percaya dengan yang namanya ramal meramal. Apalagi ramalan bintang. Dia suka keki kalau melihat kedua sohibnya baca majalah, pasti rubrik zodiak yang pertama kali mereka baca. Mending kalau hanya sekedar iseng-iseng saja… nggak jarang, mereka bener-benar terpengaruh dengan isi ramalan di majalah yang dibacanya.
Tysa, sobat Pima yang sebangku dengannya pernah nangis-nangis hanya gara-gara membaca isi ramalan di salah satu majalah remaja yang mengatakan, ‘Kekasihmu punya affair dengan wanita lain’. Lain lagi dengan Ardhin, sahabat Pima yang duduk di belakang bangku Pima dan Tysa itu pernah membatalkan janjinya hanya karena tak berani keluar pas tanggal 13. “Menurut ramalan di majalah, hari ini merupakan hari sial aku, Pim! Aku gak berani pergi ke mana-mana. Takut terjadi apa-apa.” Uh, nyebelin banget kan?
“Bintang kamu Aquarius kan, Pim?” tanya Ardhin di bangkunya, 15 menit sebelum bel masuk berbunyi.
“He’eh,” jawab Pima tanpa menoleh. Kepalanya yang berbalut bando putih rebah di atas meja. Malas.
“Mmh…”
Pima menegakkan kepala. Menoleh ke arah Ardhin yang masih menekuni majalahnya.
“Maksudnya apa, tuh?”
“Hah?”
“Deheman kamu barusan?”
“Oh…” Ardhin tak lantas menjawab. Matanya yang jeli belum bergeming dari lembar majalah yang sedang dibacanya.
Kening Pima mengerut. Makin bingung. “Ardhin!”
“Apa honey,” jawabnya tenang.
“Kamu bemum jawab pertanyaanku barusan!”
“Yang mana?”
“Duh… kamu kok jadi pikun begini, seh?!” Pima keki, “Maksud deheman kamu barusan apa?”
Ardhin tersenyum. Sukses dia menarik perhatian sahabatnya itu. “Ini Pim, menurut ramalan bintang aquarius di majalah ini, ada seseorang yang diam-diam suka memperhatikan kamu. Yah, semacam penggemar misterius gitu kali, ya?”
“Eh, ganteng gak… ganteng gak?”
“Mmh… gak ditulis, tuh.” (tapi orangnya ganteng koq…buktinya banyak yang ngejar2 penulis cerpen ini, wekekekek)
“Yah… basi!” Pima kembali merebahkan kepalanya di meja.
Tysa muncul tiba-tiba dari balik pintu kelas. Melempar tasnya ke meja. Mengeluarkan sebuah majalah dari dalam tasnya. “Liat deh, Pim!”
“Apa?” jawabnya dengan mata yang setengah terpejam.
Tysa mengguncang-guncang tubuh Pima, sampai gadis itu membuka mata lebar.
“Uh, gangguin orang aja!”
“Ini penting, Pim. Dengar ya. ‘Asmara: Buka mata, buka telinga. Seseorang di sekitar kehidupan kamu diam-diam memendam perasaan cintanya kepada kamu’, begitu kata ramalan bintang kamu minggu ini.”
“Hah?” Ardhin merebut majalah dari tangan Tysa, “kok mirip-mirip sama ramalan di majalah yang lagi aku baca, sih?”
“Masa, sih?” Tysa mengambil majalah milik Ardhin, dan membaca ramalan bintang di dalamnya.
Ardhin dan Tysa tampak serius menekuni kalimat demi kalimat ramalan bintang aquarius di majalah. Sampai terdengar suara…
“Ggggrrrrooookkkhhhh…!” Suara dengkur si Pima yang tertidur lelap di mejanya.
Ardhin dan Tysa bertukar pandang. Melihat ke arah Pima.
“Dasar peloooorrr!”
Bel masuk berbunyi. Para siswa mulai menempati mejanya. Pima masih saja asyik mendengkur. Kegemarannya jarang mandi dan menulis cerpen sampai larut malam, membuat gadis yang punya cita-cita menjadi penulis ternama itu sering datang terlamat dan tidak boleh masuk ke kelas sebelum menyanyi dulu di depan teman-temannya, juga dia sering ketiduran di dalam kelas. Sudah lumayan banyak cerpen-cerpennya yang dimuat di majalah remaja.
Pak Parlan, guru akuntansi yang juteknya nggak ketulungan itu masuk ke dalam kelas. Emh… sepertinya sebentar lagi bakalan ada yang kena semprot, nih…
“Pimaaaaaaaaaaaaaaa…!!!”
Tuh, kan.
ooOoo

“Kayaknya si Waykit, deh.”
“Kalo menurut aku sih, si Ardi.”
“Kalo Awan gimana?”
“Atau… si Ikhsan?”
“Mmh…”
Kepala Pima mondar-mandir memandang ke arah Ardhin dan Tysa, persis orang yang sedang menonton pertandingan bulutangkis. Saat itu mereka sedang berada di kantin Kampus pas jam istirahat setalah kuliah pertama.
“Kalian pada ngomongin apaan sih?”
“Eh, menurut kamu siapa, Pim?”
“Siapa apanya?” Pima bingung ditanya begitu olah Ardhin.
“Cowok!” tukas Ardhin, “Cowok yang diem-diem naksir sama kamu!”
“Awan, Pim?” sambar Tysa, “Dia kan udah dari kelas satu naksir sama kamu.”
“Pasti Waykitl yang tampangnya kayak almarhum Munir itu ya, Pim?” Ardhin tak mau kalah, “Waykit pernah secara nggak langsung ngomong ke aku kalau dia naksir sama kamu.”
“Masa, sih?”
“Tapi aku sering memergoki si Ardi, ketua kelas kita yang jangkung itu mencuri-curi pandang ke arah kamu,” ujar Ardhin.
“Ah, gak mungkin si Ardi, dia kan udah punya Tupiq,” bantah Tysa, “Kalo Ikhsan aku percaya.“Duh… nggak ngerti, ah!” Pima segera melarikan diri meningalkan kantin yang mulai sepi ditinggalkan para mahasiswa, setelah puas mengisi perut mereka, dan kembali ke kelasnya masing-masing.
Heran, kok bisa ya ada orang yang begitu terpengaruh dengan isi ramalan di majalah? Bagaimana mungkin, individu yang berbeda dengan zodiak yang sama, memiliki peruntungan yang sama pula?! Nonsense!
“Ups!” hampir saja Pima ditabrak seseorang ketika dia hendak masuk ke kelasnya.
“S-sori?” ucap seseorang yang wajahnya sangat rupawan. Bule. Begitu anak-anak semester tiga biasa memanggilnya. Kakak kelas Pima yang jago main basket, paling ganteng dan imut satu angkatan itu punya nama asli Adit. Andromeda Aditya Octavian, lengkapnya. Tapi dia lebih senang dipanggil Aditya Nugroho, karena kesantunannya. Mamanya orang Jawa, papanya robot. (maafkan aku ayah…hiks…hiks…mengece dirimu! Jangan kutuk aku jadi malin kundang)
“Ah, gak pa-pa, kok,” ucap Pima sambil menundukkan pandangnya, takut terkena sihir mata biru Adit yang luar biasa indah. Tapi baru saja dia hendak melangkahkan kakinya, Adit kembali membuka suara.
“Hei!” ucap Adit membuat Pima urung melangkah, “Kamu Pima, kan? Yang cerpennya suka dimuat di majalah remaja?”
Pima mengangguk. Takjub. Kali ini dia tak berhasil menghindari mata biru Adit. Dan dari gelagat Pima, terlihat kalau dia begitu terpana dengan mata adit yang begitu memikat.
“Wah… aku suka baca cerpen-cerpen kamu, lho… keren! Eh, ternyata kamunya juga keren! Kalo ibarat kamu naik mobil BMW, klop luar dalem sama2 keren!”
Pima melambung. Siapa yang tidak? Dipuji cowok sekeren Adit, jelas bisa menaikan pasaran. Apalagi waktu Adit mengucapkan itu, banyak teman-teman sekelas yang juga mendengarnya.
“Kapan-kapan kita ngobrol-ngobrol lagi, ya? Aku pingin banget bisa nulis cerpen seperti kamu.”
Lagi-lagi Pima hanya bisa mengangguk. Tak mampu berucap. Bahkan setelah Adit meninggalkan senyum dan berlalu dari hadapannya. Pima masih saja membeku di tempatnya.
“Duh… ada yang mukanya berubah jadi kepiting rebus, nih…” goda Ardhin yang berdiri di sebelah Tysa. Entah sejak kapan mereka ada di situ. Pima tidak menyadarinya.
Pima tersipu malu.

ooOoo


Sebuah majalah terkapar di atas meja beranda depan rumah Pima. Gadis manis itu tersenyum memungutnya. Dia selalu mendapatkan kiriman majalah itu setiap kali cerpennya dimuat di sana. Honornya lumayan. Bisa buat traktir teman-temannya.
Di kamarnya, Pima membuka-buka lembar demi lembar majalah. Sampai di rubrik Zodiak kamu. Biasanya Pima selalu melewatkan halaman itu. Tapi entah mengapa, kali itu dia tertarik membaca ramalan bintangnya. Mungkin Pima mulai ketularan kedua sahabatnya.
Asmara. Mmh… si dia sudah berani menyapa. Pelan-pelan saja. Kalo jodoh nggak bakal ke mana. Tiba-tiba Pima tersenyum.
Ups… kenapa Pima jadi terbayang-bayang wajah indonya si Adit ya? Pima buru-buru menepis bayangan itu. Istigfar tiga kali. Tapi…
nggak sukses! Wajah itu nempel seperti ketan di dinding ingatan, melekat di retina matanya. Ke manapun dia memandang, wajah Adit ada di sana, di mana-mana. Bahkan di dalam tidur pun, wajah itu seolah tak rela melepaskan Pima dari bayang-bayangnya!
Dan cerita pun mengalir seperti sungai, berembus seperti angin. Bukan sekedar sapaan dengan sedikit senyum dan basa-basi di ambang pintu kelas lagi, Pima dan Adit jadi sering terlihat bersama—meski tak pernah hanya berdua—di sudut-sudut Kampus. Selalu ada Ardhin dan Tysa, atau salah satu di antara keduanya yang menemani Pima dan Adit. Pima yang menghendaki begitu, sebab walau mulai menikmati sihir mata biru Adit yang mampu membuai siapa saja yang sengaja—maupun tak sengaja—memandangnya, seperti zat adiktif yang mampu menghadirkan halusinasi, dia tak berani sendirian berada bersama Adit. Takut tenggelam dalam pesona mata birunya yang memabukkan. Dan untungnya Adit tidak pernah merasa keberatan. Dia malah senang!

ooOoo


Jangan-jangan ramalan bintang itu benar? Jangan-jangan memang ada seseorang yang diam-diam lagi naksir aku? Jangan-jangan orang itu Adit? Jangan-jangan…
“Hayo!” kejut Ardhin yang tanpa sepengetahuan Pima sudah menelusup ke dalam kamarnya, membuat Pima terlonjak. “Lagi ngelamunin Adit, ya?”
“Idih, siapa bilang?”
“Alaaa… gak usah mungkir, deh! Muka kamu udah menjelaskan!” ledek Ardhin yang wajahnya nggak kalah keren sama artis sinetron itu.
“Ada apa dengan muka aku?” Pima meraba-raba wajahnya yang merona merah.
Ardhin mengembil cermin dan membentangkannya di hadapan Pima. “Liat aja sendiri, muka kamu udah persis seperti kepiting rebus! Masih mau membantah?”
Pima tersipu-sipu. Malu. Belakangan ini dia memang benar-benar telah menjadi tawanan bagi wajah tampan Adit. Benar-benar tak mampu melepaskan diri. Jangan-jangan si Pima sudah jatuh cinta dengan pemilik mata biru itu? Wah, bakal jadi berita yang menghebohkan, nih. Pima memang belum pernah jatuh cinta dengan cowok sebelumnya. Cinta pertama? Mungkin. Tapi, Pima masih belum yakin dengan perasaannya.
“Baca deh, Pim!” Ardhin memberikan majalah yang sudah terbuka halamannya kepada Pima. Rubrik ramalan bintang.
“Inilah saat yang paling tepat untuk menyatakan perasaanmu kepadanya,” Pima membaca ramalan asmara bintangnya.
“Tunggu apalagi?”
“Mana bisa begitu? Mana ada kamusnya cewek menyatakan cintanya lebih dulu ke cowok?! Lagipula, siapa yang suka sama Adit?”
“Huh. Masih mau ngelak. Nanti kalo keduluan orang baru tau rasa, lho!”
“Biarin!”
“Bener, nih? Nggak nyesel?”
“NO WAY!”
Ardhin hanya tersenyum mendengar jawaban dari Pima.


ooOoo


Tingginya gunung dapat di daki, luasnya gurun dapat di seberangi, dalamnya lautan dapat diselami. Tapi, siapa dapat menerka isi hati? Meski Pima berusaha mati-matian mengingkari perasaannya, dia tak sanggup menyembunyikan perasaan dari dirinya sendiri. Dia bukan saja mulai memercayai ramalan bintang di majalah. Dia bahkan mulai berharap Adit merupakan seseorang yang diam-diam menaruh hati kepadanya, seperti yang diramalkan di majalah. Sikap Adit seolah menjawab harapan Pima. Tapi, mengapa Adit belum mau juga menyatakan cintanya?
Inilah saat yang tepat untuk menyatakan perasaanmu kepadanya,
Pima teringat dengan ramalan bintang yang dibacanya di majalah beberapa waktu lalu. Tapi apa kata orang nanti kalau Aku menyatakan cinta lebih dulu ke Adit? Bisa-bisa Adit malah tidak bersimpati kepadaku, dan lari menjauh. Lagipula, bagaimana dengan kecantikan pas-pasan yang kumiliki ini? Rasanya…
Suara ponselnya berbunyi. Pima memungutnya dari meja belajar di samping ranjang tidurnya. Pangeran tampan Adit? Nama itu muncul di monitor handphone-nya. Pima tersenyum. Lalu menerima telepon itu.
“Assalamu’alaykum!”
“Wa’alaykumussalam.”
“Ada apa? Kok tumben nelepon aku, sih?”
“Mmm… begini, Pim, sebenarnya udah lama aku mau ngomong ini ke kamu. Tapi aku malu. Nggak tau harus mulai dari mana.”
“Kenapa harus malu? Emang apa sih yang mau kamu omongin?” pancing Pima.
“Ehm… k-kamu mau ngga jadi…”
“Mau! Mau!” jawab Pima spontan sebelum Adit menyelesaikan ucapannya.
“Hah? Yang bener, Pim?”
“Bener…” kali ini Pima terdengar malu-malu.
“Wah, makasih ya, Pim!” ucap Adit senang, “Udah lama aku naksir sama Dian Sastro, makasih ya kamu mau nyomblangin aku sama Dian Sastro!”
Deg!
Pima membeku. Kelu. Tak tahu harus berkata apa. Handphone-nya terjatuh.
Dia mengumpulkan semua majalah yang ada ramalan bintangnya, membuangnya ke tong sampah, dan membakarnya!
Hik… hik… hik…
taMat

1 komentar:

Bismillah mengatakan...

Cerpen Anda lumayan menarik,
memberikan gambaran kepada para remaja indonesia yang masih percaya sama ramalan bintang or Zodiak.
Perlu ga siec??
Ga masalah kalee law cuma sebatas hiburan.